Minggu, 15 Juni 2008

Pengkayaan Stok (Stock Enhancement) dalam Mewujudkan Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab

Pada tahun 60-an, produksi perikanan tangkap Indonesia sangatlah melimpah. Pada masa itu para pemimpin bangsa dan para nelayan memiliki pemikiran dan perasaaan yang sejalan dan sama-sama menyatakan “potensi perikanan laut Indonesia sangatlah melimpah, lautnya kaya raya akan sumber daya alamnya”.
Tetapi keadaan ini tidak berlangsung selamanya. Pada awal tahun 2000-an, pejabat, wartawan dan siapa saja yang mengunjungi nelayan pada musim ikan akan tetap menyatakan bahwa “ikan kita masih melimpah”. Hal tersebut karena memang terlihat bahwa hasil tangkapan ikan yang banyak dan ikannya pun besar-besar. Namun memori otak para nelayan yang telah menekuni pekerjaan ini sejak tahun 60-an merekam data kognitif, afektif dan konatif bahwa musim ikan tahun ini tidaklah sebanyak tahun-tahun dulu lagi. Ukuran ikannya pun makin tahun makin mengecil, solar yang diperlukan untuk melaut semakin banyak, dan Iain-Iain.
Perbedaan data kognitif, afektif dan konatif yang dimiliki para stakeholder perikanan tangkap inilah yang akan menentukan jawaban bagi pertanyaan “apakah ikan di laut Indonesia ini masih melimpah atau sudah berkurang?”. Keyakinan terhadap jawaban pertanyaaan ini akan menurunkan pemikiran perlu tidaknya peningkatan stok atau stock enhancement.
Pada tahun 60-an, pada saat seluruh stakeholder perikanan sepakat menyatakan bahwa potensi perikanan laut Indonesia sangat melimpah. Pernyataan tersebut didukung oleh data statistik perikanan 1974 yang menyatakan bahwa produksi perikanan tangkap Indonesia pada 1960 baru mencapai 410.043 ton dan naik menjadi 722.512 ton pada 1968. Jadi hasil tangkapan tersebut hanya 6,6 % (1960) dan 11, 6 % (196 dari MSY yang besarnya 6,2 ton. Sehingga wajar apabila pada saat itu ikan di perairan lautIndonesia masih melimpah. Jumlah nelayannya, pun baru 870.137 orang pada 1968 dan bahkan menurun menjadi 841.627 orang pada 1970, dan meningkat kembali menjadi 854.000 orang pada tahun 1973.
Pada tahun 2004 produksi perikanan tangkap negara kita telah mencapai 4,8 ton atau 77,4% MSY dan jumlah nelayan pun telah naik menjadi 3,4 juta orang (Statistik Perikanan 2004). (Berdasarkan data tersebut secara nasional potensi perikanan laut Inonesia di abad 21 ini mungkin sudah tidak melimpah lagi. Gambaran rata-rata pendapatan nelayan Indonesia yang terlihat dari produktivitas rata-rata nelayan Indonesia pun nilainya dibawah negara-negara lain. Produktivitas nelayan Indonesia secara rata-rata maksimal hampir seperdelapan nelayan negara tetangga Malaysia dan sepertigapuluh nelayan Rusia. Indonesia memiliki terlalu banyak nelayan dan kekurangan akan stok ikan.
Untuk menghindari kekurangan ikan tangkapan di laut sudah semestinya pemerintah melakukan upaya pengkayaan stok atau stock enhancement atau sea ranching seperti yang telah dilakukan oleh negara Jepang. Pengkayaan stok merupakan sebuah proses pelepasan juvenile (benih ikan berukuran besar, pada ikan disebut “ngramo”; pada udang dikenal dengan istilah tokolan) ke perairan lingkungan alam dengan tujuan untuk meningkatkan populasi ikan tertentu yang ditargetkan sehingga berperan mengembalikan bentuk piramida ekosistem atau piramida trophic level.
Benih ikan yang dilepas dalam pengkayaan stok ini tergantung pada populasi ikan (kwartiary consumer, tertiary consumer atau secondary consumer) yang populasinya telah berkurang akibat intervensi manusia, baik penangkapan, reklamasi pantai atau polusi. Overstocking suatu spesies akan mengubah bentuk piramida dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Sehingga upaya pengkayaan stok tidak dapat begitu saja melepas ikan yang akan producer). Namun selama ini intervensi manusia masih mengganggu bentuk piramida selama itu pula pengkayaan stok terus dilakukan. Di Jepang, intervensi manusia telah mengganggu puncak piramida sehingga pengkatan stok dilakukan pada kelompok consumer tingkat atas.
Keberhasilan sea ranching pada udang penaeus japonicus di teluk Hamanako berdasarkan penelitian Uno Yutaka (1985) ditunjukkan dengan tumbuhnya udang hasil penebaran yang hampir sama cepatnya dengan pertumbuhan udang alam dan tertangkapnya kembali udang-udang tersebut. Penagkapan udang di Teluk Hamanako menghasilkan produksi 2,4 kali lebih besar dari perairan alami lainnya. Benih udang berukuran 26-28 mm sebanyak 2.485.000 ekor yang dilepas pada Agustus sampai Oktober 1982 telah tertangkap kembali sebanyak 386.483 ekor seberat 4.030 kg pada tahun 1983.
Efektivitas stocking ini ditentukan oleh tiga faktor penting yaitu teknik dan taktik pelepasan yang ditentukan oleh faktor manusia; kualitas ikan yang ditentukan oleh proses pembenihan/pendederan yang dialami benih; dan kondisi lingkungan yang ditentukan oleh faktor-faktor lapangan tempat pelepasan. Teknik dan taktik pelepasan melibatkan permasalahan kapan, dimana, bagaimana dan berapa banyak benih harus dilepas ke alam. Survei kondisi lingkungan daerah sasaran stoking harus mampu memberi informasi tentang kelimpahan makanan alami ikan yang akan dilepas; hewan-hewan predator; habitat dan segala kondisi fisik daerah seperti temperature, salinitas dan arus. Semua informasi tersebut akan sangat membantu memcahkan masalah teknik dan taktik pelepasan.
Kualitas ikan juga ditentukan oleh aspek morfologi dan fisiologi. Kesempurnaan kedua aspek ini dicirikan dengan adanya benih yang sehat dan aktif, yang dijadikan prasyarat bisa digunakannya benih untuk pengkayaan stok. Namun ternyata benih yang sehat dan aktif inipun tidak selalu berkorelasi positif dengan rasio tertangkap kembalinya ikan (recapture rate) ikan. Seperti halnya dengan benih ikan ayu (plecoglossus altivelis) yang memiliki kecepatan berenang dua kali lebih cepat ternyata hanya dapat ditangkap kembali sebesar 50 % dari ikan yang memiliki kemampuan berenang normal. Jadi, selain aspek morfologi dan fisiologi, aspek tingkah laku benih juga perlu diperhatikan.
Pengalaman Negara LainBerdasarkan pengalaman negara lain seperti Jepang yang merupakan negara terkemuka dalam stock enhancement, Indonesia dapat belajar banyak dari kebijakan nasional negara Jepang ini dalam mempertahankan kekayaan alam ikan di laut miliknya. Jepang telah melaksanakan kegiatan stock enhancement sejak tahun 1963 dengan target area Laut Kepulauan Seto seluas 18.000 km2 yang dihubungkan dengan laut lepas oleh tiga selat. Dengan pengkayaan stok ini, Jepang dapat mempertahankan hasil tangkapan pada level 15.000-an ton sejak tahun 1986 sampai 1995. Menengok ke belakang ternyata Jepang pernah mengalami penurunan hasil tangkapannya dari tahun 1960 sebesar 25.000-an ton menjadi 15.000-an ton pada tahun 1986.
Dalam melaksanakan kebijakan nasional bidang pengkayaan stok ini negara Jepang telah mengeluarkan biaya sebesar US $ 850.000 pada tahun 1968 dan meningkat tajam pada tahun 1996 yang mencapai US$ 59 juta. Pengkayaan stok yang dilakukan Jepang memang sangatlah mahal biayanya, namun hal ini akan membawa keuntungan yang berlipat pula bagi masyarakatnya dan pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian negara Jepang itu sendiri. Stok ikan yang ada diperairan laut Jepang terjamin keberadaannya sehingga besaran hasil tangkapannya pun akan terjamin.
Belajar dari kebijakan negara Jepang, sudah semestinya kini pemerintah Indonesia mulai untuk mengambil sikap dan cepat bertindak agar stok ikan tangkapan di laut Indonesia tetap terjaga kelestariannya dan tidak terus terjadi penurunan dari tahun ke tahun.
Sumber: Majalah Demersal

Tidak ada komentar: