Sabtu, 05 Juli 2008

Berburu Harta Karun di Laut

Oleh : Agus Supangat
Temuan Teriakan "mangkok...... guci ...... teko ....... kalung ......." adalah teriakan-teriakan kegembiraan seorang penyelam di pinggir pantai utara Jawa di awal bulan Mei tahun 2004 ketika ia menemukan keramik-keramik Cina berbentuk guci, kepingan emas, perak, berlian, zamrud, mutiara, batu berharga dan porselen dan sebagainya itu pada kedalamam 30 meter di perairan Cirebon. Secara keseluruhan jumlah benda-benda keramik Cina yang berhasil diangkat dalam waktu sebulan adalah sebanyak 2.225 buah keramik (dalam keadaan utuh), 3.535 buah keramik (yang direstorasi) dan 10.265 buah keramik (dalam keadaan pecah/tidak utuh).Total keseluruhan berdasarkan tipologinya benda-benda keramik tersebut berasal dari masa V Dinasti sekitar abad ke-X. Belum lagi penemuan Kapten Michael Hatcher pada tahun 1985 yang sangat menggemparkan sehingga pada waktu itu pemerintah perlu untuk segera memberi perhatian khusus terhadap masalah pengamanan warisan di laut yang tersebar di perairan Nusantara. Penemuan Hatcher yang spektakuler berupa 126 batang emas lantakan dan 160.000 benda keramik dinasti Ming dan Ching dari sebuah kapal VOC Geldermalsen yang karam di perairan Riau pada bulan Januari 1751, telah menyadarkan kita semua bahwa di dasar laut Indonesia tersimpan warisan yang tak ternilai harganya dan perlu untuk diteliti, dilestarikan dan dimanfaatkan. Sejarah Bahari Cerita tentang apa yang terjadi di awal bulan Mei tahun 2004 di pinggir pantura tersebut dan penemuan Hatcher pada tahun 1985 yang spektakuler ternyata sudah lama banyak mempengaruhi pemikiran dan tindakan orang-orang di Indonesia, baik yang bergerak dalam bidang penelitian dan pelestarian maupun dalam bidang pendidikan. Sejarah bahari Nusantara telah ada sejak 2000 tahun yang lalu. Seabad sebelum orang Eropa pertama bermimpi berpetualang ke Nusantara, daerah tersebut telah menjadi tempat pertemuan yang kaya dan makmur dengan perdagangan lautnya. Setelah keberhasilan perdagangan lokal, hubungan awal perdagangan luar negeri Nusantara adalah dengan India dan Timur Tengah. Hubungan pertama dengan pedagang Arab dan India adalah memperkenalkan rempah-rempah dari Maluku,suatu rempah asli Nusantara, kemudian dengan orang-orang Eropa pada abad ke-4. Komoditas dari Nusantara ini pada awalnya dibawa secara bertahap, pertama melalui laut ke India, kemudian melewati daratan melalui rute perdagangan tua ke Timur Tengah dan kota-kota pelabuhan di Laut Mediteran dan akhirnya ke Eropa. Selain rempah-rempah, kekayaan dalam komoditas lain juga menggalakkan hubungan perdagangan. Pada abad pertama setelah Roman Emperor Vespasion melarang ekspor emas dari Roma, pedagang-pedagang India melirik ke Nusantara sebagai sumber alternatif impor emas khususnya kepulauan Sumatra dan Jawa. Selain para pedagang Arab dan India ini, bangsa Melayu juga adalah pedagang. Mereka digambarkan sebagai "par exellence yaitu orang-orang laut". Selama berabad-abad, mereka memainkan peran penting dalam membuat rute awal perkapalan timur ke Cina dan rute barat ke India, Timur Tengah, dan Afrika. Bangsa Cina juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan perdagangan di laut dengan mengekspor keramik-keramik oriental dan barang lain. Sejak abad ke-9, porselen Cina telah ada di Nusantara. Dari pelabuhan di Cina Selatan, kapal-kapal layar Cina biasanya mengambil satu dari dua rute melalui Asia Tenggara, berlayar ke pantai barat Filipina, melewati Borneo dan Sulawesi ke kepulauan Maluku, atau menyusuri garis pantai Vietnam, Thailand dan Semenanjung Malaka dengan bantuan angin monsoon. Dari sana, mereka bergerak ke arah selatan ke Jawa atau Sumatra atau ke barat ke Samudera Hindia untuk perjalanan jauh ke India dan ke daerah yang lebih jauh lagi. Sebagai daerah yang didominasi laut, perdagangan dan perkapalan di Nusantara pada saat itu telah menjadi ciri khas penting secara politik dan ekonomi selama berabad-abad. Pelabuhan perdagangan yang penting di Nusantara adalah Aceh, Pasai dan Kota Cina, Palembang, Banten dan Batavia, Makassar, Seram, Ternate, dsb. Seberapa Banyak Kapal yang Hilang? Jumlah kapal yang hilang dan karam selama berabad-abad di perairan Nusantara sangat banyak sehingga tidak terhitung. Perairan Nusantara ini adalah mimpi para ahli arkeolog bawah air dan para pemburu harta karun yang terwujud karena sejumlah besar kekayaan ada di dasar laut tak tersentuh.

Kapal layar Cina telah mengharungi perairan Asia selama berabad-abad dan selama bertahun-tahun telah banyak kapal yang membawa muatan yang hari ini tidak ternilai harganya, tenggelam.

Pelayaran dari Portugal ke Atlantik selatan, melalui Samudra Hindia dan ke Asia Tenggara adalah perjalanan yang lama dan bahaya. Sejak tahun 1650, sekitar 800 kapal Portugis berlayar dari Lisabon dimana hampir 150 kapal tidak pernah terdengar lagi. Kemungkinannya hilang tanpa jejak.

Antara tahun 1600 dan 1800, English east India Company (EIC) telah kehilangan lebih dari 7000 kapal dan kebanyakannya tenggelam ke dasar laut terbawa bersamanya harta kekayaan. Sementara pada tahun 1808 dan 1809, EIC kehilangan 10 kapal yang berlayar pulang dan bersamanya hilang juga satu juta sterling lebih.

VOC Belanda juga telah kehilangan 105 kapal yang berlayar antara tahun 1602 dan 1794; kapal-kapal yang berlayar pulang 141 kapal antara tahun 1602 dan 1795. periode yang buruk adalah antara tahun 1725-1749 ketika VOC kehilangan 44 kapalnya yang berlayar pulang.

Nilai muatan yang dibawa oleh kapal-kapal tersebut sangat besar. Wajar saja jika dikatakan bahwa ada "Harta Karun" bertebaran di perairan Nusantara. Muatan yang Hilang Tidak semua muatan yang ada pada kapal yang hilang di Nusantara berharga hari ini. Setelah tenggelam di laut selama bertahun-tahun, banyak muatannya yang hancur, seperti sutra murni Cina, Teh dari Cina, Opium dari Bengal (Bangladesh), Danuan (India) dan Turki, Bahan katun dari Amerika dan Cina,Rempah dari kepulauan Maluku ,Logam dari Eropa seperti besi,Kulit hewan dari Amerika dan Inggris Muatan yang Tidak Hancur Banyak juga kapal yang membawa muatan yang berharga seperti emas, perak, berlian, zamrud, mutiara, batu berharga dan porselen dan keramik Cina dan Jepang. Sebagian besar barang-barang tersebut pernah ditemukan pada kapal karam di perairan Nusantara. Nilai barang yang berharga tersebut tidak terhitung. Berikut sebagai contoh, berdasarkan kajian histories dari rute perdagangan Nusantara antara tahun 1511 hingga akhir 1800-an di perairan Laut Jawa tercatat berbagai musibah sehingga mengakibatkan kapal tenggelam.

Tahun
Keterangan
1601
Pada tanggal 26 Desember, terjadi perang laut antara Armada Belanda dan Portugis di lepas pantai Bantam (Jawa Barat). Armada Belanda terdiri dari empat kapal layar dan satu kapal perang, yaitu GUELDERLAND (520 ton), SEALAND (400 ton), UTRECHT (240 ton), WATCHER (120 ton) dan DOVE (50 ton). Armada portugis terdiri dari 8 kapal layar besar dan 22 kapal perang (nama tidak diketahui). Perang ini berlangsung selama enam atau tujuh hari. Dua kapal layar dan tiga kapal perang Portugis mengalami kerusakan berat sehingga awak kapal mencoba mengelabui lawan dengan cara membakar kapal tersebut, tetapi armada Belanda dapat menghindarinya. Tidak satupun kapal Belanda yang hilang dalam pertempuran ini.
1601
Kapal PIE dibawah komando Pereira De Sande, dalam perjalanan dari Malaka menuju Ambon ketika hilang di bebatuan Peressada di timur laut Jawa. Kapal tersebut diperkirakan membawa emas dan perak.
1611 atau 1613
TRADES INCREASE, kapal EIC seberat 1293 ton sedang berada di pelabuhan Banten melapisi kapal dan belum satu bagian selesai dilapisi kapal jatuh pada satu sisinya dan rusak total. Peristiwa ini menyebabkan banyak awak kapal dan pekerja Jawa yang tewas. Berikutnya kapal dibakar sehingga tenggelam oleh orang-orang Jawa yang marah.
1613
TRADES INCREASE, kapal EIC seberat 1100 ton dibawah komando Sir Henry Middleton berlayar dari Eropa ke bagian timur pada tanggal 1 April 1610. Kapal menabrak sebuah batu ketika memasuki Banten sehingga mengalami kebocoran. Ketika diperbaiki kapal miring dan terbakar sehingga akhirnya dihancurkan oleh orang-orang Jawa.
1617
HECTOR, kapal EIC dengan Kapten William Edwardes, hilang pada bulan Juni di lepas pantai Jawa.
1618
BLACK LION, English East Indiaman (berat kapal tidak diketahui), ketika berlabuh di Batavia pada tanggal 25 Desember, terbakar secara tidak sengaja akibat kecerobohan awak kapal.
1623
REFUGE, kapal EIC yang hilang di lepas pantai Semarang dalam perjalanan dari Inggris menuju Asia.
1627
BANTAM, kapal VOC seberat 800 ton, terbakar pada tanggal 24 Maret di tembok pangkalan pelabuhan Batavia. Muatan kapal langsung diselamatkan tak lama kemudian.
1632
NIJMEGEN, Dutch East Indiaman, hilang dekat Batavia dalam perjalanan pulang pada bulan Agustus. Diperkirakan kapal membawa muatan porselen asia.
1633
BREEDAM, kapal VOC seberat 200 ton dengan Kapten Michiel Vis, tiba di Batavia tanggal 24 Mei 1633. Kapal tersebut karam di dekat Pulau Duizend, Kep.Seribu, Batavia).
1633
DELFSHAVEN, Dutch East Indiaman seberat 400 ton, kapten tidak diketahui, tiba di Batavia pada tanggal 9 September 1632. Satu tahun kemudian yaitu pada 12 November 1633 kapal tersebut meledak di Batavia akibat kelalaian.
1653
ZEEMEEUW, Dutch East Indiaman seberat 100 ton dengan Kapten Alexander Hendricksz, hilang di bagian timur Batavia.
1657
LILLO, Dutch East Indiaman seberat 240 ton dengan Kapten Jean Laphart, menuju Batavia (via Pernambuco, Sulawesi) dan karam di pintu masuk pelabuhan Batavia.
1658
WINDHOND, kapal VOC seberat 360 ton, hilang di Pulau Boompjes (timur laut Batavia, Jawa) ketika dalam pelayaran lokal.
1663
GRIFFIOEN, Dutch East Indiaman berat 560 ton, kapten tidak diketahui, tiba di Hindia (Batavia) pada 28 Oktober 1647 dan digunakan di ONRUST (diluar Batavia). Kapal tersebut tenggelam pada 16 November.
1670
NIEUWENDAM, Dutch East Indiaman seberat 210 ton, kapten kapal tidak diketahui, tiba di Batavia pada 18 Juni 1663. Kapal tersebut karam di perairan antara Bima dan Makassar di malam hari tanggal 1 Oktober 1670.


1670
STOMPNEUS, kapal VOC dengan Kapten Anthony Von Doorn, tenggelam di Japara oleh kapal EIC, ZANTE.
1684
HUIS TE KLEEF, Dutch East Indiaman seberat 564 ton dengan Kapten Gerrit Albertsz Schellinger, tiba di Batavia pada tanggal 16 Agustus 1675. Dalam perjalanan menuju Palembang kapal tersebut karam karena menabrak gugusan karang dekat kepulauan seribu pada tanggal 1 September.
1684
BODE, Dutch East Indiaman seberat 96 ton dengan Kapten Adriaan Roelofsz van Asperen, tiba di Batavia pada tanggal 18 November 1674. Pada tanggal 13 September, kapal tersebut karam di dekat Kepulauan Seribu.
1686
KROONVOGEL, Dutch East Indiaman seberat 108 ton dan Kapten Lucas Genzenwinner, tiba di Batavia pada tanggal 4 Juli 1676. Pada tanggal 11 Februari 1686, kapal mendarat dan karam di Pulau Alkmaar dekat Batavia.
1690
ZIJPE, Dutch East Indiaman seberat 488 ton deng kapten Jan Modderman tiba di Batavia pada tanggal 12 Mei 1674. Pada akhirnya kapal diledakkan di pelabuhan Batavia.
1697
BRONSTEDE, Dutch East Indiaman seberat 253 ton dengan Kapten Jakob Barendsz Sonbeek tiba ti Batavia pada tanggal 10 Oktober 1686. Sebelas tahun kemudian tanggal 11 Agustus, kapal karam di rute perjalanan ke Semarang akibat kebocoran.
1698
HONSELAARSDIJK, Dutch East Indiaman seberat 722 ton dengan Kapten Kornelis Ole tiba di Batavia pada 28 Februari 1691. Tujuh tahun kemudian kapal karam di rute perjalanan dari Batavia.
1702
SCHELLAG, kapal VOC seberat 290 ton dengan Kapten Jakob de la Palma tiba di Batavia pada tanggal 10 September 1700. Pada malam tanggal 21 November kapal tersebut tenggelam di rute perjalanan dari Batavia.
1719
OEGSTGEEST, kapal VOC seberat 576 ton dengan Kapten Pieter Jansz Bruin hilang di Gresik.
1728
OUWERKERK, Dutch East Indiaman seberat 658 ton dengan Kapten Jan de Vos karam dekat Jepara.
1740
VALKENISSE, Dutch East Indiaman seberat 1150 ton dengan Kapten Elias Moeninx tiba di Batavia pada tanggal 12 Januari 1734. Enam tahun kemudian kapal karam di Banten pada bulan September.
1744
KASTEEL VAN WOERDEN, Dutch East Indiaman seberat 850 ton yang hilang setelah menabrak sebuah batu yang berada 14 kilometer (9 mil) dari Pamanukan.
1746
HOFWEGEN, Dutch East Indiaman seberat 650 ton dengan Kapten Jan de Wit tiba di Batavia pada tanggal 7 Oktober 1742. Empat tahun kemudian pada tanggal 1 September, kapal meledak di rute perjalanan dari Batavia.
1765
PIJLSWAART, Dutch East Indiaman seberat 880 ton, hilang di rute perjalanan dari Batavia pada tanggal 24 Februari ketika berlayar pulang ke Belanda.
1784
EUROPA, kapal VOC seberat 1200 ton, menabrak Rock of Indramayu dan tenggelam. Kapal tersebut sedang dalam ekskursi perdagangan inter-Asian.
1789
JONGE FRANK, Dutch East Indiaman seberat 592 ton dengan Kapten Jacob Veer, karam pada bulan Agustus 1788 ketika berada di Tanjung Good Hope sedang memuatkan sebagian barang dari kapal pengangkut barang MARIA untuk pelayaran pulang. Kapal JONGE FRANK kemudian bergerak ke Batavia dan tiba di sana pada tanggal 24 Desember 1789. Kapal ini tenggelam ketika di rute perjalanan dari Batavia, dan muatan dari kapal MARIA dinilai seharga 254.877 florin.
1794
INDUS, Dutch East Indiaman seberat 1150 ton dengan Kapten Matthijs Laurens Koster, tiba di Batavia pada tanggal 20 Mei 1791. Tiga tahun kemudian kapal tersebut terbakar hangus di rute perjalanan dari Batavia.
1795 atau 1796
HERTOG VAN BRUNSWIJK, Dutch East Indiaman seberat 1150 ton dengan Kapten jan Olhof, tiba di Batavia pada tanggal 9 juli 1794. Pada tahun 17995 atau 1796, kapal ini karam di luar wilayah Batavia.
1796
DRAAK, kapal VOC seberat 1150 ton dengan Kapten Anthonie van Rijn, pertama kali tiba di Batavia pada tanggal 13 Juli 1793. Tiga tahun kemudian ketika posisi jangkar di rute perjalanan dari Batavia, kapal disambar kilat dan terbakar musnah.
1817
WENA, kapal Belanda yang karam dekat Batavia ketika berlayar dari Rotterdam ke Batavia. Sebagian muatannya diselamatkan pada saat itu.
1854
ZINGARI, kapal layar Amerika yang berlayar dari Batavia ke Singapura, hilang di Brouwers Shoal pada bulan Juni. Kapten, awak dan penumpang kapal dapat diselamatkan.
1856
ROBERTUS HENDRIKUS, kapal Belanda yang berada di rute jalan Batavia ditemukan terbakar di pagi tanggal 10 Juni tahun itu. Semua usaha untuk mengendalikan api telah dilakukan tetapi sia-sia. Pada siang hari api telah menjalar sehingga akhirnya kapal tenggelam dan hanya haluannya yang terlihat di permukaan air. Kapal ini sedang berlayar ke Semarang membawa ?80.000 sterling dalam bentuk kepingan uang logam milik pemerintah, 1000 pical timah, 1500 pical kopi dan sejumlah batubara dan karung goni. Tidak diketahui apakah muatan yang hilang tersebut dapat diselamatkan.
1856
CHINA, kapal dagang Inggris dengan Kapten Ayers, sedang dalam pelayaran dari Manilla ke London ketika menabrak karang dekat Kepulauan Seribu pada malam tanggal 29 Juni. Kapal berhasil keluar tetapi langsung tenggelam. Kapten dan awak kapal berjumlah 27 orang terpaksa menaiki perahu dan keesokan harinya mereka dibawa oleh kapal pengangkut barang Amerika, CYHNTIA yang dibawah komando Kapten Barblet. Mereka selamat tiba di Batavia pada tanggal 1 Juli. Kapal CHINA membawa muatan berupa gula.
1857
LIEUTENANT ADMIRAL STELLINGWERF, kapal layar Belanda yang hilang di 7o1??LS dan 110o27??BT (Jawa tengah) ketika berlayar dari Semarang ke Singapura. Dikabarkan bahwa kapal membawa mata uang logam senilai US$20.000 - $30.000.
1858
NICHOLAS CEZARD, kapal Prancis yang menabrak karang di Laut Jawa dan tenggelam.
1860
DERKINA TITIA, kapal Belanda dengan Kapten Evink yang berlayar dari Macau ke Jawa, hilang di Pulau Arends pada tanggal 17 September. Awak kapalnya berhasil tiba di Surabaya dengan selamat.
1861
AGATHA MARIA, kapal Belanda yang hilang pada tanggal 17 Juni pada karang dekat Cilacap yaitu di posisi 7o41??LS dan 109o5??BT. Kapal sedang berlayar dari Cilacap ke Amsterdam . Usaha penyelamatan dilakukan pada saat itu tetapi hasilnya tidak diketahui.
1862
PIONEER, kapal Amerika yang berlayar dari Manilla ke Liverpool hilang di pulau Karimun Jawa pada tanggal 27 Desember. Awak kapalnya dibawa kembali ke Semarang.
1862 atau awal 1863
SPEED, kapal layar orang Thailand dibawah bendera Inggris berlayar dari Batavia, menabrak pulau Karimun Jawa dan tenggelam. Awak kapalnya dibawa kembali ke Semarang.
1875
NEVA, kapal French Messageries Maritime yang hilang pada tanggal 7 Agustus, 13 kilometer (8 mil) dari Batavia. Kapal tersebut sedang berlayar dari Singapura ke Batavia.
Tabel 1. Sejarah kapal kapal yang tenggelam di perairan laut Indonesia periode 1601-1875
EUROPA, kapal VOC seberat 1200 ton, menabrak Rock of Indramayu dan tenggelam. Kapal tersebut sedang dalam ekskursi perdagangan inter-Asian.
1789
JONGE FRANK, Dutch East Indiaman seberat 592 ton dengan Kapten Jacob Veer, karam pada bulan Agustus 1788 ketika berada di Tanjung Good Hope sedang memuatkan sebagian barang dari kapal pengangkut barang MARIA untuk pelayaran pulang. Kapal JONGE FRANK kemudian bergerak ke Batavia dan tiba di sana pada tanggal 24 Desember 1789. Kapal ini tenggelam ketika di rute perjalanan dari Batavia, dan muatan dari kapal MARIA dinilai seharga 254.877 florin.
1794
INDUS, Dutch East Indiaman seberat 1150 ton dengan Kapten Matthijs Laurens Koster, tiba di Batavia pada tanggal 20 Mei 1791. Tiga tahun kemudian kapal tersebut terbakar hangus di rute perjalanan dari Batavia.
1795 atau 1796
HERTOG VAN BRUNSWIJK, Dutch East Indiaman seberat 1150 ton dengan Kapten jan Olhof, tiba di Batavia pada tanggal 9 juli 1794. Pada tahun 17995 atau 1796, kapal ini karam di luar wilayah Batavia.
1796
DRAAK, kapal VOC seberat 1150 ton dengan Kapten Anthonie van Rijn, pertama kali tiba di Batavia pada tanggal 13 Juli 1793. Tiga tahun kemudian ketika posisi jangkar di rute perjalanan dari Batavia, kapal disambar kilat dan terbakar musnah.
1817
WENA, kapal Belanda yang karam dekat Batavia ketika berlayar dari Rotterdam ke Batavia. Sebagian muatannya diselamatkan pada saat itu.
1854
ZINGARI, kapal layar Amerika yang berlayar dari Batavia ke Singapura, hilang di Brouwers Shoal pada bulan Juni. Kapten, awak dan penumpang kapal dapat diselamatkan.
1856
ROBERTUS HENDRIKUS, kapal Belanda yang berada di rute jalan Batavia ditemukan terbakar di pagi tanggal 10 Juni tahun itu. Semua usaha untuk mengendalikan api telah dilakukan tetapi sia-sia. Pada siang hari api telah menjalar sehingga akhirnya kapal tenggelam dan hanya haluannya yang terlihat di permukaan air. Kapal ini sedang berlayar ke Semarang membawa ?80.000 sterling dalam bentuk kepingan uang logam milik pemerintah, 1000 pical timah, 1500 pical kopi dan sejumlah batubara dan karung goni. Tidak diketahui apakah muatan yang hilang tersebut dapat diselamatkan.
1856
CHINA, kapal dagang Inggris dengan Kapten Ayers, sedang dalam pelayaran dari Manilla ke London ketika menabrak karang dekat Kepulauan Seribu pada malam tanggal 29 Juni. Kapal berhasil keluar tetapi langsung tenggelam. Kapten dan awak kapal berjumlah 27 orang terpaksa menaiki perahu dan keesokan harinya mereka dibawa oleh kapal pengangkut barang Amerika, CYHNTIA yang dibawah komando Kapten Barblet. Mereka selamat tiba di Batavia pada tanggal 1 Juli. Kapal CHINA membawa muatan berupa gula.
1857
LIEUTENANT ADMIRAL STELLINGWERF, kapal layar Belanda yang hilang di 7o1??LS dan 110o27??BT (Jawa tengah) ketika berlayar dari Semarang ke Singapura. Dikabarkan bahwa kapal membawa mata uang logam senilai US$20.000 - $30.000.
1858
NICHOLAS CEZARD, kapal Prancis yang menabrak karang di Laut Jawa dan tenggelam.
1860
DERKINA TITIA, kapal Belanda dengan Kapten Evink yang berlayar dari Macau ke Jawa, hilang di Pulau Arends pada tanggal 17 September. Awak kapalnya berhasil tiba di Surabaya dengan selamat.
1861
AGATHA MARIA, kapal Belanda yang hilang pada tanggal 17 Juni pada karang dekat Cilacap yaitu di posisi 7o41??LS dan 109o5??BT. Kapal sedang berlayar dari Cilacap ke Amsterdam . Usaha penyelamatan dilakukan pada saat itu tetapi hasilnya tidak diketahui.
1862
PIONEER, kapal Amerika yang berlayar dari Manilla ke Liverpool hilang di pulau Karimun Jawa pada tanggal 27 Desember. Awak kapalnya dibawa kembali ke Semarang.
1862 atau awal 1863
SPEED, kapal layar orang Thailand dibawah bendera Inggris berlayar dari Batavia, menabrak pulau Karimun Jawa dan tenggelam. Awak kapalnya dibawa kembali ke Semarang.
1875
NEVA, kapal French Messageries Maritime yang hilang pada tanggal 7 Agustus, 13 kilometer (8 mil) dari Batavia. Kapal tersebut sedang berlayar dari Singapura ke Batavia.

Refleksi 50 Tahun Hubungan Ekonomi Indonesia-Jepang dalam Sektor Perikanan

1. Pendahuluan
Ketertarikan Jepang akan sumberdaya ikan Indonesia dan Asia Tenggara umumnya bukanlah hal baru, tetapi memiliki faktor kesejarahan yang panjang. Sebelum pendudukkan Jepang di tanah air, laut nusantara dan perairan lainnya di wilayah ini telah menjadi “ladang” ikan bagi nelayan Jepang. Eksploitasi sumberdaya ikan secara berlebihan di dalam negerinya mendorong para nelayan melakukan ekspansi keluar negeri, seperti yang dilakukan oleh para nelayan Okinawa setelah Perang Dunia I ke Asia Tenggara [1]. Bahkan, selama perang pasifik (Perang Dunia II) Jepang sekurang-kurang menanamkan modalnya untuk perikanan sekitar 45,8 juta atau 3.7% dari total investasi Jepang di Indonesia [2]. Dengan produktivitas perikanan lebih dari 25 kali lipat nelayan lokal  seperti dilaporkan Hiroshi Shimizu [1], nelayan-nelayan pendatang ini tidak hanya mampu memperbaiki ekonominya di daerah yang baru tersebut tetapi juga bagi daerah asal yang mereka tinggalkan.
Tentu saja ekspansi model di atas akan sangat sulit ditemukan saat ini karena dua alasan:
1. Sejak lahirnya UNCLOS di tahun 1982 banyak negara pantai membatasi pergerakan industri perikanan asing di wilayahnya yang tentu saja berimbas besar pada aktivitas perikanan Jepang.
2. Industri perikanan Jepang saat ini juga menghadapi masalah domestik dengan menurunnya peminat pada usaha ini serta menumpuknya kelompok nelayan usia tua dalam industrinya (hampir separuh nelayan Jepang berusia di atas 60 tahun).
Kondisi seperti ini tentu saja menuntut pemerintah dan/atau pengusaha perikanan Jepang untuk mencari berbagai jalan keluar untuk dapat mencukupi kebutuhan hasil perikanan dalam negerinya yang bisa dikatakan sangat besar (per kapita suplai ikan Jepang mencapai lebih dari 60 kg/kapita/tahun, sedangkan rata-rata suplai ikan dunia hanya sekitar 16.7 kg/kapita/tahun). Kerjasama pengembangan sektor perikanan ataupun penanaman modal di negara-negara yang memiliki potensi sumberdaya ikan yang besar seperti Indonesia menjadi pilihan utama. Tulisan ini sekilas memaparkan dinamika hubungan ekonomi Indonesia-Jepang dalam sektor perikanan selama lima dekade terakhir, serta prospek dan tantangan ke depan.
2. Perjanjian Damai dan Ekspansi Industri Perikanan
Tanggal 20 Januari 1958 atau setengah abad yang lalu merupakan momentum terpenting dalam perbaikan hubungan Indonesia-Jepang pasca penjajahan. Proses menuju ini bukanlah proses yang mudah, apalagi tuntutan ganti rugi karena berbagai kerusakan yang ditinggalkan Jepang terbilang sangat besar. Menurut catatan Hindley [3] gugatan awal mencapai $17.300 juta. Sehingga momentum 50 tahun yang lalu sekurang-kurangnya menghasilkan tiga peristiwa penting bagi kedua negara:
1. Penandatanganan perjanjian damai atau Treaty of Peace seperti tertuang dalam United Nation Treaty Series No. 4688, yang dikuti dengan
2. Kesepakatan tentang kompensasi perang (Reparations Agreement) yang bernilai sekitar US$ 223 juta (UN Treaty Series No. 4689), dan
3. Pertukaran nota kesepakatan tentang hutang dan investasi(UN Treaty Series No. 4691).
Terkait dengan kompensasi perang tersurat bahwa kompensasi diberikan dalam bentuk produk dan jasa selama 12 tahun atau dengan nilai sekitar US$ 20 juta per tahun. Kompensasi ini meliputi seluruh sektor termasuk transportasi dan komunikasi, pertambangan, pertanian dan perikanan, serta jasa dan sektor lainnya. Dalam sektor perikanan diketahui proyek pengembangan kapal ikan menjadi salah satu bentuk proyek kompensasi.
Momentum 1950an dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh Perdana Menteri Yoshida Shigeru dalam promosi kerjasama Jepang-Amerika Serikat dalam pembangunan Asia Tenggara serta dua kunjungan perdana menteri Kishi Nobusuke di tahun 1957, menjadi peristiwa penting bagi upaya Jepang untuk kembali ke wilayah ini. Dengan disepakatinya kompensasi perang dalam bentuk jasa dan kemudian barang menjadi jalan licin dan landasan kuat bagi masuknya kembali barang dan perusahaan Jepang yang sebelumnya sulit melakukan penetrasi ke wilayah ini [4]. Kepentingan Jepang (yang tentu saja menjadi kepentingan Amerika Serikat) selain di bidang ekonomi, adalah memenangkan pertarungan politik di wilayah ini khususnya dalam menangkal perkembangan komunisme. Dengan demikian, proyek reparasi tersebut tidak hanya bermakna investasi ekonomi tetapi juga politik atau dalam bahasa kiasan Asahi Shimbun seperti dikutip Suehiro [4] “With reparations, we can kill two birds with one stone”
Selama Orde Lama, bantuan dan investasi Jepang tidak terlalu besar, dibandingkan dengan beberapa negara lain khususnya Rusia dan eropa timur. Namun demikian, Jepang mendapat tempat terbaik sejak awal kepemimpinan Orde Baru di tahun 1966. Bahkan, untuk menarik minat investasi Jepang, tidak hanya dilakukan melalui jalur formal, tetapi juga lobi-lobi informal [5]. Sebagai hasilnya, aliran dana ODA (Official Development Assistance) dan investasi Jepang mengalir ke tanah air dan terus menguat, bahkan kemudian menjadi cukup dominan dalam perekonomian Orde Baru. Jepang sampai sekarang masih berada di kelompok teratas negara-negara yang menginvestasikan modalnya di Indonesia dan juga menjadi parter dagang utama Indonesia.
Pertambangan dan migas, kehutanan, dan perikanan merupakan beberapa sektor yang dikembangkan dalam kerangka kerjasama pemanfaatan sumberdaya alam. Khusus untuk perikanan, di awal rejim Orde Baru total investasi asing dalam sektor ini mencapai angka US$ 11,5 juta dari total komitmen investasi sekitar US$ 324 juta di bulan Oktober 1968 [6]. Jepang merupakan investor terbesar perikanan tersebut dengan dua komoditi utama sebagai sasaran yaitu udang dan tuna. Pada tahun 1968 investasi Jepang dipusatkan pada industri penangkapan udang dan ikan khususnya di wilayah Sumatra dan Kalimantan. Perusahaan-perusahan Jepang ini tentu saja mampu mengeksploitasi sumberdaya ikan dengan hasil lebih baik, khususnya untuk komoditi udang yang menjadi komoditi ekspor utama, karena kemampuan teknologi yang dimilikinya. Sebagai hasilnya, ekspor ikan Indonesia meningkat fantastis dengan nilai hanya dari US$ 229 ribu pada tahun 1962, menjadi US$ 17,5 juta pada tahun 1971 (84% diantara ekspor ke Jepang), dan US$ 211,1 juta tahun 1980 dengan pangsa ekspor Jepang mencapai 77.6% dari total nilai [7].
Tuna adalah komoditi kedua setelah udang yang menjadi andalan Indonesia dan menjadi salah satu sumberdaya yang diminati Jepang. Berdasarkan data online yang dilaporkan oleh JBIC [8] diketahui sejak tahun 1972 dana ODA sekitar 19.116 juta pada sub-sektor perikanan secara umum dialokasikan untuk pengembangan industri perikanan tuna seperti melalui Tuna Fishery Development Project di Sabang dan Benoa pada era 1970an, kemudian Enginering Services and Jakarta Fishing Port Development di pertengahan 1980an, 1990an dan 2004, dan Enginering Services for Bitung Fishing Port Development Project di pertengahan tahun 1990an. Karena itu, dari total ekspor tuna Indonesia selama tiga dekade terakhir, lebih dari 70% ditujukan untuk pasar Jepang khususnya untuk komoditas tuna segar dan tuna yang melalui proses pendinginan.
Dari sisi ekonomi, periode antara 1970an sampai menjelang pertengahan 1990an dapat dikatakan periode emas hubungan ekonomi Indonesia-Jepang dalam bidang perikanan. Ekspor perikanan Indonesia terutama udang mencapai puncaknya dalam periode ini. Berkembang pesatnya budidaya udang windu yang juga disokong oleh dana hutang luar negeri di awal tahun 1980an menjadikan Indonesia sebagai eksportir utama untuk udang, paling tidak sampai pertengahan 1990an. Sayangnya, berbagai kegagalan budidaya udang karena imbas praktek budidaya yang tidak sehat seperti penyakit dan penurunan kualitas serta kerusakan lingkungan membuat tampilan industri udang nasional terpuruk. Posisi Indonesia pun kemudian ditempati oleh Thailand yang menjadi produsen dan pemasok udang dunia terbesar saat ini. Perkembangan yang tidak meyakinkan selama dekade 1990an menyebabkan posisi Indonesia juga terlewati oleh Vietnam yang kini bahkan menjadi suplier utama kebutuhan udang Jepang.
Hubungan persahabatan Indonesia-Jepang bagaimanapun tidak semuanya berjalan mulus. Walaupun tidak secara langsung terkait dengan perikanan, peristiwa Malari di tahun 1974 (Malapetaka 15 Januari 1974) yang berawal dari protes dan berakhir pada kerusuhan di tahun tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi ketidakpuasan terhadap dominasi investasi asing, terutama Jepang yang menjadi sorotan utama saat itu. Peristiwa ini bahkan menjadi arus balik kepempimpinan presiden Soeharto karena dengan peristiwa itu ia melakukan perombakkan orang-orang di sekitarnya dan membuat paket kebijakan baru yang membatasi aktivitas gerakan mahasiswa serta partai politik [9]. Berbagai konflik berdarah antara nelayan tradisional dengan nelayan trawl yang terjadi di tahun 1970an juga tidak dapat dilepaskan dari pola pembangunan yang hanya mengejar dolar dari ekspor hasil perikanan. Apakah kondisi seperti mengendorkan hubungan kedua negara? Nampaknya tidak demikian, karena untuk menjaga roda ekonomi yang bertumpu pada bantuan atau hutang dan investasi asing, pemerintah juga memiliki kepentingan melindunginya. Hal ini paling tidak terbaca pada kasus pelarangan pukat harimau (trawl). Ketika banyak konflik antar nelayan akibat kebijakan introduksi alat tangkap ikan tersebut, pemerintah terpaksa mengeluarkan paket kebijakan pelarangan trawl di perairan Indonesia (seperti tertuang dalam Keppres 39/1980 dan Kepmentan No. 545/Kpts/Um/8/1982). Namun demikian, bagi 11 perusahan joint venture di bidang perikanan antara Indonesia dan Jepang mereka diberi ijin untuk menangkap ikan khususnya di perairan di wilayah barat Papua.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa eksploitasi sumberdaya alam seperti halnya perikanan telah memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Namun demikian, dampak sosial dan lingkungan akibat pola pembangunan yang diterapkan sungguh mengkhawatirkan. Jauh hari di awal Orde Baru berkuasa, Krisnandhi [6] telah memaparkan keprihatinannya akan dampak model pembangunan perikanan terutama keberadaan investasi asing terhadap sumberdaya ikan dan usaha perikanan domestik. Akhir-akhir ini, deplesi sumberdaya ikan bahkan semakin terasa dan tengah sedang menjadi satu faktor kunci penyulut berbagai konflik perikanan di nusantara. Hutan mangrove pun misalnya, akibat konversi untuk berbagai kepentingan salah satunya untuk tambak udang telah mengakibatkan kita kehilangan hampir lebih dari separuh luasan yang tercatat sekitar 4,2 juta hektar di tahun 1980 dalam tiga dekade terakhir. Tentu saja, peran negara donor dalam krisis lingkungan seperti ini telah menjadi bahan kritik para analis [baca misalnya 10-11]. Namun demikian, kenyataan lain seperti perilaku korup yang melekat pada rejim yang ada juga telah memperburuk pengelolaan sumberdaya alam. Hal inipun sebenarnya telah disadari oleh negara donor, bahkan dalam salah satu laporan studi JBIC dikemukakan buruknya pengelolaan negara di beberapa wilayah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Karena itu, era baru dengan kesepakatan baru melalui “Japan Indonesia Partnership Aggreement” (JIEPA) perlu mempertimbang-kan faktor-faktor non-ekonomi tersebut. Kerjasama pengembangan perikanan yang lebih berkelanjutan dapat menjadi tema besar sektor perikanan ke depan. Tema ini tentu saja akan tepat dengan peran yang tengah disandang Jepang sebagai leader gerakan lingkungan hidup global saat ini.
3. Bersaing di tengah Pasar Jepang yang sedang Surut: Prospek dan Tantangan
Walaupun masih memimpin di kelompok teratas penanam investasi terbesar di Indonesia, minat investasi Jepang dalam tahun-tahun terakhir nampak sedang bergeser turun. Survey Report on Overseas Business Oportunity by Japanese Manufacturing Companies pada tahun yang lalu menempatkan Indonesia pada Ranking 8 sebagai ladang bisnis menjanjikan dalam jangka menengah, tetapi posisi ini turun drastis dari No. 3 dan 4 masing-masing pada tahun 1995 dan 2002. Pemerintah melalui JIEPA yang telah bergulir sejak awal kepemimpinan presiden SBY, tentu saja mengharapkan dapat mendongkrak minat Jepang ke tanah air lagi. Untuk sektor perikanan catatan berikut dapat menjadi beberapa acuan kondisi perikanan saat ini, serta prospek dan tantangannya ke depan:
1. Bagi industri perikanan Indonesia, pasar Jepang masih akan menjadi pasar yang utama. Hal ini misalnya bisa dilihat dari satu indikator bahwa hampir separuh ekspor udang kita masuk ke pasar Jepang dan angka yang lebih tinggi pada pasar ikan tuna segar. Namun demikian, laju impor ikan Jepang menjelang akhir dekade 1990an terus melambat, baik volume maupun nilai dibandingkan dua dekade sebelumnya. Bahkan, pertumbuhan impor ikan Jepang dalam periode 2000-2006 telah berbalik ke negatif. Pada saat bersamaan, ekspor hasil perikanannya justru merambat naik. Walaupun para ahli ekonomi perikanan dalam pertemuan Asosiasi Ekonomi Perikanan Jepang pada tanggal 1 Juni yang lalu masih bertanya-tanya apakah kecenderungan ekspor tersebut akan menjadi berita gembira atau pertanda tidak baik ditengah berbagai masalah domestik, kencenderungan seperti ni patut menjadi perhatian bagi industri perikanan nasional. Dari sisi konsumsi, adalah satu tantangan bagi Indonesia ketika konsumen Jepang perlahan-lahan beralih ke produk-produk HMR (home meal replacement; aitu produk-produk yang bergizi tetapi siap saji baik disantap, dihangatkan, atapun langsung dimasak), misalnya Indonesia masih mengandalkan diri pada ekspor produk yang belum diolah. Thailand dan Vietnam nampak mendominasi produk yang mempunyai nilai tambah seperti ini.
2. Persaingan industri perikanan, khususnya udang, ke depan yang juga pasar utamanya adalah Jepang akan lebih ketat. Komoditi perdagangan udang dunia saat ini telah bergeser dari 5-6 species menjadi 2-3, terutama dengan meluasnya budidaya udang introduksi seperti vanamei. Industri budidaya udang nasional juga sedang bergeser dari spesies lokal (udang windu) ke vanamei. Dari sisi pasar, keseragaman spesies menyebabkan persaingan terjadi hanya pada tingkat harga. Bahkan harga udang dunia saat ini telah bergeser turun dari rata-rata US$ 11,2/kg pada tahun 2000 menjadi US$ 6,5 di tahun lalu [dihitung dari data yang dilaporkan 12]. Tentu saja negara-negara yang mampu memproduksi udang dengan harga yang lebih murah akan menjadi pemain utama dan China saat ini sedang bergairah dengan mulai mendominasi pasar udang dunia. Namun demikian, isu-isu keamanan pangan dan kecurangan dalam perdagangan akan tetap menjadi faktor penentu berikutnya. Pengalaman terpentalnya produk udang China di pasar Amerika dan riaknya sampai ke tanah air tentu dapat menjadi pelajaran berharga bagi pengusaha perikanan nasional. Tentu saja, faktor sejenis juga menjadi pusat perhatian Jepang.
3. Untuk tuna, peluang pasar tetap terbuka bagi para produsen tuna. Namun demikian ada empat tantangan: (1) tekanan harga bahan bakar minyak akan membatasi kemampuan produksi tuna Indonesia. (2) Pada saat bersamaan tekanan masyarakat dunia yang menginginkan ekploitasi tuna yang lebih bertanggungjawab juga akan semakin kencang. Komunitas masyarakat perikanan international seperti CCSBT (Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna) misalnya, bahkan telah berhasil memaksa Jepang menurunkan kuotanya untuk tuna sirip biru dari selatan ini dari 6000 ton per tahun menjadi hanya separuh tahun 2006 yang lalu. Imbasnya dikhawatirkan akan mengalir pada jenis dan negeri lainnya termasuk industri tuna kita. (3) Persaingan di tingkat wilayah juga semakin ketat karena negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia sudah mengalokasikan dana untuk perikanan tuna dan bahkan berani menarik industri tuna nasional dengan subsidi BBM jika bersedia pindah ke Malaysia [13]. Thailand juga telah berancang-ancang dengan akan selesainya pembangunan pelabuhan perikanan Puket. Vietnam dengan dukungan Jepang juga merencanakan pengembangan pelabuhan perikanan tuna modern dengan nilai mencapai US$ 5 juta [14]. Kitapun tentu masih menaruh prioritas yang besar pada industri tuna seperti dapat dibaca pada dokumen Program Revitalisasi Perikanan 2005-2009. Sayangnya, (4) struktur industri perikanan tuna kita sangat lemah, bahkan sangat tergantung pada aktivitas perikanan dari negara lain. Lebih disayangkan lagi aktivitas perikanan asing ini sulit dibedakan antara yang berijin dan yang mencuri. Tidaklah mengherankan jika kita sering berkeluh kesah tentang pencurian ikan yang merugikan negara triliunan rupiah. Karena itu, dalam kerangka kerjasama kedua negara upaya mengurangi permasalahan dan aktivitas yang dikenal dengan istilah IUU (Illegal, Unregulated and Unreported) ini dapat menjadi salah satu agenda bersama. Kerjasama bilateral dan mungkin regional dapat juga dilakukan baik dengan memberi tekanan pada para penangkap dan penjual hasil ikan curian tersebut juga dari sisi teknis.
4. Bagi industri perikanan nasional, pilihan ditengah melemahnya minat pasar Jepang saat ini tentu saja salah satunya adalah diversifikasi ekspor baik komoditi ikan, produk, maupun negara tujuan. Adalah berita baik ekspor udang Indonesia sudah cukup bergeser dari pasar tunggal Jepang, ke beberapa negara akhir-akhir ini, termasuk dengan masuknya pasar China sebagai tujuan baru. Sebagai ilustrasi, lebih dari 70% ekspor udang Indonesia ditujukan ke Jepang sampai tahun 1989, dan kini turun hanya separuh. Dengan kecenderungan tersebut kebijakan revitalisasi perikanan yang saat ini hanya mengkosentrasikan diri pada tiga komoditi perikanan saja yaitu udang, tuna dan rumput laut perlu dikaji ulang.
5. Namun demikian, satu hal yang patut dan yang terpenting untuk dipertimbangan oleh Indonesia adalah isu-isu domestik seperti isu sosial ekonomi perikanan dan lingkungan. Faktor ini tentu perlu mendapat tempat yang lebih baik dalam kebijakan pembangunan perikanan saat ini dan akan datang. Apalagi belajar dari pengalaman yang lalu, karena orientasi yang terlalu fokus ke luar (export-oriented) yang ditempuh dalam pembangunan perikanan telah menghasilkan beban masalah domestik yang berat seperti kerusakan sumberdaya, lingkungan dan masalah sosial ekonomi.
4. Catatan Penutup
Walaupun telah banyak keuntungan ekonomi dalam lima puluh tahun perbaikan hubungan Indonesia-Jepang, kita juga menemukan dampak sosial dan permasalahan lingkungan hidup. Bahkan, kekhawatiran Krisnandhi [6] empat puluh tahun yang lalu juga telah banyak terbukti. Karena itu berkaca pada pengalaman yang lalu, Indonesia perlu mengkaji dengan lebih baik agar berbagai kerjasama dengan negara lain bisa memberikan hasil yang seimbang, tidak hanya sisi ekonomi. Apalagi, telah disadari bahwa eksploitasi sumberdaya ikan kita saat ini cenderung mengarah pada krisis perikanan. Eksploitasi sumberdaya secara berlebihan bahkan seperti sedang berjalan beriringan dengan kemiskinan di pesisir.
Bagi penulis, satu hal yang menarik dari para pengambil kebijakan perikanan Jepang adalah kegigihan memperjuangkan kepentingan perikanan domestik, walau dalam tekanan internasional sekalipun seperti yang bisa kita baca dalam isu subsidi perikanan, penangkapan ikan paus, tuna dan isu-isu lainnya. Komitmen seperti ini juga yang kita harapkan dari pengambil kebijakan di tanah air. Apalagi tantangan dan masalah domestik Indonesia ke depan semakin berat. Kita tentu berharap, ikan tetap menjadi pangan yang terus dapat terjangkau, ditengah harga pangan dunia dan domestik yang terus melambung.

Mengapa Sebagian Besar Perikanan Dunia Overfishing? (Suatu Telaah Manajemen Perikanan Konvensional)

Sering diungkapkan bahwa sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang terpulihkan. Namun, dalam kenyataannya sampai saat ini tak satupun fakta yang mampu menunjukkan kebenaran thesis tersebut. Produksi perikanan dunia terus mengalami penurunan dan bahkan overfishing dan punah. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan sebab-sebab kerusakan perikanan dunia ditinjau dari pendekatan pengelolaan perikanan konvensional serta mencoba mendiskusikan altenatif pengelolaan dan metode pemanfaatan sumberdaya ikan ke depan. 1. Manajemen Konvensional Pauly, et al., 2002 [1] mengatakan bahwa kegiatan perikanan (baca: penangkapan ikan) sebenaranya adalah merupakan suatu kegiatan pengejaran atau perburuan hewan air, seperti perburuan hewan-hewan darat lainnya seperti rusa, kelinci atau hewan-hewan lainnnya di hutan. Mereka menjelaskan lebih lanjut bahwa tidak ada perburuan yang dilakukan secara industri di dunia ini, kecuali pada sumberdaya ikan. Dapat dibayangkan, apa yang terjadi jika kegiatan perburuan itu dijadikan industri dalam skala besar? Pertimbangan aspek ekonomi akan menjadi lebih dominan dibandingkan dengan aspek lainnya. Satuan upaya perburuan tersebut akan melebihi kapasitas maksimumnya dan mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumberdaya yang bersangkutan. Dimulai pada awal abad 19 ketika nelayan Inggris mengoperasikan steam trawl, kegiatan perikanan berkembang pesat dan menjadi komoditas industri dan perdagangan. Sadar akan kerusakan yang timbul akibat exploitasi yang "rakus" tersebut, ilmuwan biologi perikanan mengembangkan beberapa model pengelolaan perikanan. Model-model pengelolaan perikanan konvensional tersebut kemudian diaplikasikan di berbagai perairan di belahan bumi guna menghambat laju kerusakan sumberdaya ikan. Meskipun model-model tersebut terus berkembang dan mengalami perbaikan, namun tak satupun model pengelolaan yang ada mampu menghambat laju kerusakan sumberdaya ikan. Ada beberapa alasan yang bisa diungkapkan disini kenapa model-model konvensional pengelolaan sumberdaya ikan tersebut gagal dalam menghambat kerusakan sumberdaya ikan. Secara umum, model-model pengelolaan perikanan konvensioanl yang dikembangkan selama ini didasarkan atas positivistic science yang berasumsi bahwa ekosistem alam ini dapat diprediksi dan dikontrol [2]. Dalam kenyataannya, asumsi ini sangat susah untuk dipenuhi. Disamping kemampuan manusia untuk memprediksi perilaku ekosistem alam terbatas, perilaku ekosistem sendiri juga sangat susah untuk diprediksi. Sehingga, model-model yang berbasis kesetimbangan yang banyak diadopsi dalam pengelolaan sumberdaya ikan (seperti nilai maximum sustainable yields, MSY), tidak dapat diterapkan dengan baik. Bukan karena ketersediaan data yang terbatas, tapi yang lebih utama adalah kegagalan dalam mengadopsi perilaku ekosistem [3] dalam modelnya. Sehingga, penentuan reference point (nilai acuan) kapasitas maksimum lingkungan yang menjadi dasar dalam penentuan batas maksimum variabel keputusan (seperti MSY) menemui ketidak-akuratan. Kesalahan, baik itu lebih atau kurang (dari kapasitas maksimum sesungguhnya) akan berdampak yang buruk bagi pengelolaan sumberdaya ikan [4]. Alasan berikutnya adalah model-model pengelolaan perikanan konvensional yang sebagian besar dikembangkan untuk spesies tunggal pada perikanan industri di belahan bumi utara bagian barat, tidak cocok diterapkan pada perikanan daerah tropis yang notabene berskala kecil dan bersifat multigear-multispecies. Padahal, bumi bagian selatan yang merupakan negara berkembang, dimana perikanannya didominasi oleh perikanan skala kecil, menyumbang hampir 58% produksi perikanan dunia [5]. Perbedaan skala, sistem penangkapan ikan dan ekosistem perairan, menyebabkan model-model konvensional tidak mampu untuk menerangkan kompleksitas perikanan daerah tropis. Pengelolaan perikanan, pada hakekatnya adalah pengelolaan ekosistem, dimana keterkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya sangat erat hubungan sebab akibatnya. Perubahan pada satu elemen ekosistem akan merubah struktur secara keseluruhan ekosistem tersebut. Ketidak mampuan model untuk menjelaskan kompleksitas perikanan ini, telah diyakini menjadi penyebab perubahan struktur ekosistem perikanan yang pada akhirnya menyebabkan degradasi produksi ikan dan overfishing di hampir seluruh wilayah daerah tropis. Pada sisi lainnya, manajemen perikanan konvensioanal yang hanya terfokus pada stock assessment model yang menafikkan aspek sosial juga disinyalir menjadi salah satu penyebab ketidak-berhasilan model-model konvensioanal. Padahal, management perikanan pada hakekatnya adalah suatu upaya untuk mengontrol upaya penangkapan, atau kongkretnya mengatur nelayan, pelaku utama kegiatan perikanan, dalam mengoperasikan alat tangkapnya, kapan, dimana dan seberapa besar kapasitas perikanan yang boleh digunakan. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang dinamika perilaku nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan termasuk di dalamnya aspek sosial-ekonomi nelayan yang melatar-belakanginya, sangatlah penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Hilborn, 1985 [6] mengungkapkan bahwa krisis perikanan cod dan salmon di Canada pada tahun 1980an sebenarnya bukanlah karena ketidak mampuan model dalam memperediksi ekologi semata tapi karena dinafikkannya aspek perilaku nelayan ini dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Penurunan stok ikan, perubahan komposisi sumberdaya ikan, serta meningkatnya kompetisi antar nelayan, telah mendorong nelayan untuk melakukan upaya-upaya efisiensi dengan menambah daya kapal, teknologi penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan yang kesemuanya mengakibatkan meningkatnya kapasitas penangkapan ikan. Subsidi pemerintah yang tak terencana, juga diyakini telah mendorong nelayan untuk meningkatkan upaya penangkapan ikan. Motorisasi kapal nelayan yang tidak dibarengi dengan upaya peningkatan pemahaman nelayan akan pengelolaan sumberdaya ikan telah menyebabkan meningkatnya tekanan penangkapan di daerah pesisir. Dalam beberapa kasus, nelayan melakukan perubahan atau modifikasi ukuran kapal, alat tangkap atau teknologi penangkapan ikan yang digunakan guna mengelabuhi peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sehingga penghitungan satuan upaya penangkapan dalam model perikanan konvensioanal yang hanya berbasis pada jumlah armada penangkapan akan menyesatkan. Ketidakmampuan model konvensional dalam mengoptimalkan tujuan pengelolaan itu sendiri, juga diyakini menjadi penyebab gagalnya model-model pengelolaan sumberdaya ikan konvensional dalam menghambat laju kerusakan sumberdaya ikan. Secara umum, tujuan pengelolaan sumberdaya ikan ditujukan untuk mengoptimalkan tiga tujuan utama, yaitu: ekonomi, biologi dan sosial. Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan diharapkan mampu untuk memuaskan aspek ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya sehingga mampu mensejahterakan masyarakat, khususnya nelayan secara berkelanjutan. Namun demikian, dari ketiga tujuan utama tersebut, khususnya antara tujuan ekonomi dan biologi sangatlah bertentangan dan tidak mungkin untuk dicapai secara bersamaan. Mengoptimalkan ekonomi akan berdampak pada perusakan sumberdaya ikan dan sebaliknya mengoptimalkan sumberdaya ikan (kelestarian sumberdaya ikan) tidak akan mampu memuaskan aspek ekonomi. Perkembangan model pengelolaan sumberdaya ikan yang pada awalnya hanya diukur dengan aspek biologi semata, maximum sustainable yield (MSY) yang kemudian dimodifikasi dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, maximum economic yield (MEY) dan terakhir menjadi optimum sustainable yield (OSY) menunjukkan upaya-upaya perbaikan terhadap model yang ada. Namun, dari ketiga model tersebut, sampai saat ini belum mampu untuk mengoptimalkan seluruh tujuan pengelolaan sumberdaya ikan. Yang ada adalah, dengan nilai acuan MSY yang masih diragukan nilainya itu, sebagian besar negara berkembang mengesampingkan aspek biologi dan sosial dan terus membuka akses penangkapan ikan untuk tujuan devisa negara. 2. Pengelolaan Sumberdaya Ikan ke Depan Selama masih didasarkan pada model-model konvensional yang memahami perikanan secara linear, dapat diduga, species tunggal dan kesetimbangan sistem, pengelolaan perikanan tidak akan berhasil. Oleh sebab itu sangat berbahaya jika pengelolaan perikanan khususnya perikanan industri di daerah tropis masih didasarkan pada model-model konvensional ini. Perikanan bukanlah kegiatan ekonomi semata, namun sudah merupakan jalan hidup sebagian besar nelayan kecil di daerah tropis. Oleh karena itu pendekatan sosial-ekologi yang mengakomodasikan aspek ekologi dan sosial dalam suatu sistem layak untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan ke depan. Perikanan harus dipandang sebagai integrasi sistem sosial-ekologi dengan dua arah umpan balik dan sistem adaptasi yang komplek. Pengelolaan perikanan bukan lagi ditujukan untuk menjawab pertanyaan "kemana perikaan ingin kita arahkan?" tetapi "bagaimana kita berubah menuju arah yang dikehendaki?" Pengelolaan sumberdaya ikan yang didasarkan pada nilai acuan (seperti MSY), sudah saatnya dicarikan alternatif penggantinya, dengan menggunakan rujukan arah kecenderungan perkembangan sumberdaya tersebut (misalnya perubahan komposisi hasil tangkapan, ukuran hasil tangkapan, dsb). Pendekatan ecosystem based management (EBM) untuk pengelolaan sumberdaya ikan mungkin merupakan salah satu metoda alternatif untuk pengelolaan ekosistem sumberdaya ikan yang komplek. The Ecosystem Principles Advisory Panel (EPAP), menyatakan bahwa EBM mengemban sedikitnya 4 aspek utama [7]: (1) interaksi antara target species dengan predator, kompetitor dan species mangsa; (2) pengaruh musim dan cuaca terhadap biologi dan ekologi ikan; (3) interaksi antara ikan dan habitatnya; dan (4) pengaruh penangkapan ikan terhadap stok ikan dan habitatnya, khususnya bagaimana menangkap satu species yang mempunyai dampak terhadap species lain di dalam ekosistem. Bila dalam penjelasan EPAP tidak disebutkan secara langsung tentang bagimana mengelola perilaku orang atau manusia sebagai komponen ekosistem dimana mereka hidup dan memanfaatkan sumberdaya, tetapi sesungguhnya unsur manusia telah masuk di dalamnya. Di lain pihak, the National Research Council of the USA (NRC) dalam definisinya menyebutkan manusia sebagai komponen sekaligus pengguna dalam ekosistem secara langsung serta membedakan antara ekosistem dan pengguna ekosistem tersebut. Disebutkan juga bahwa tujuan akhir dari EBM adalah menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem. Sebagai alat monitoring ekosistem, EBM kemudian dilengkapi dengan indikator ekologi untuk mengukur perubahan ekosistem yang dimaksud. Indikator-indikator ini diupayakan lebih berarti secara ekologi, mudah dipahami dan diterapkan di lapangan. Berdasarkan hasil monitoring ini diharapkan perubahan ekosistem termasuk manusia yang ada di dalamnya mudah dijelaskan, sehingga keadaan ekosistem secara keseluruhan akan diketahui dan tindakan perbaikan dapat dilakukan secapatnya untuk mengatasi kerusakan yang ada. Sebagai contoh, Rochet and Trenkel, 2003 [8] mengelompokkan indikator perubahan sumberdaya ikan menjadi 3 kelompok besar yaitu (1) indicator pada tingkat populasi; (2) indicator pada tingkat antar species ikan dan (3) indicator pada tingkat kelompok ikan. Pada tataran pelaksanaan, EBM sering disandingkan dengan marine protected area (MPA), yang didefinisikan sebagai suatu wilayah yang populasi sumberdayanya bebas eksploitasi. Tujuan MPA adalah untuk melindungi sumberdaya dari eksploitasi agar sumberdaya tersebut pulih kembali. Disamping meningkatkan ukuran ikan, MPA juga diharapkan mampu mengembalikan stok sumberdaya yang telah rusak. Mous et. al, 2005 [9] dalam kajiannya telah mengungkapkan keunggulan MPA dibandingkan dengan pendekatan konvensional yang menggunakan nilai acuan (seperti MSY). Khususnya bagi pengelolaan perikanan di Indonesia, mereka secara tegas mengusulkan untuk mengganti metoda pendekatan pengelolaan perikanan yang selama ini didasarkan pada nilai MSY dengan MPA. 3. Kesimpulan Sampai saat ini, model-model pengelolaan perikanan terus dikembangkan guna memperbaiki kekurangan model yang telah dikembangkan sebelumnya. Perkembangan ilmu statistika dan komputer juga telah membantu ahli biologi ikan untuk mengembangkan model-model yang lebih rumit. Namun demikian, karena masih berbasis pada model-model konvensional yang bercirikan species tunggal, terpusat pada biologi populasi ikan dan mengesampingkan aspek sosial-ekologi perikanan dan berasumsi bahwa dinamika perikau populasi dapat diduga, belum juga mampu menghambat kerusakan populasi ikan dunia. Ke depan, karena perikanan dunia hampir 58 % di daerah berkembang beriklim tropis, orientasi pengelolaan perikanan perlu diubah dengan memandang sosial-ekologi perikanan sebagai suatu sistem. Alat pengelolaan perikanan bukan berorientasi pada pengukuran nilai acuan pengelolaan semata namun harus juga berisi metoda bagaimana cara menanggulangi suatu perubahan dalam sistem. Pemahaman yang menyeluruh ini akan memudahkan seorang manajer perikanan mampu untuk memberikan alternatif tindakan ketika suatu elemen sistem mengalami perubahan atau kerusakan. Salah satu metode pendekatan yang sudah dikembangkan untuk pendekatan ini adalah Ecosystem Based Management (EBM). Daftar Pustaka
1. Pauly, D., Christensen V., Gu??nette S., Pitcher T.J., Sumaila, U.R., Walters C.J., Watson, R. and Zeller D. 2002. Towards sustainability in worlds fisheries. Nature 418:689-695.
2. Berkes F. 2003. Alternatives to conventional management: lessons from small-scale fisheries. Environments 31(1):5-19.
3. Holling, C.S. 2001. Understanding the complexity of economic, ecological, and social systems. Ecosystem 4:390-405.
4. Wiyono. E.S. 2005. Stok sumberdaya ikan dan keberlanjutan kegiatan perikanan. Inovasi 4:26-30
5. Food and Agriculture Organization. 2001. The State of World Fisheries and Aquaculture 2000. FAO, Rome, 142 pp.
6. Hilborn, R. 1985. Fleets dynamics and individual variation: why some people catch more fish than others. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science 42:2-13.
7. USA National Marine Fisheries Service. 1999. Ecosystem based fishery management: a report to the Congress by the Ecosystem Principles Advisory Panel. http://www.nmfs.gov/sfa/reports.html
8. Rochet MJ and Trenkel VM. 2003. Which community indicators can measure the impact of fishing? A review and proposal. Canadian Journal Fisheries and Aquatic Science 59: 1032-1043.
9. Mous, P.J., Pet, J.S., Arifin, Z., Djohani, R., Erdmann, M.V., Halim, A., Knight, M., Pet-Soede, L. and Wiadnya G. 2005. Policy needs to improve marine capture fisheries management and to define a role for marine protected areas in Indonesia. Fisheries Ecology and Management

Rabu, 02 Juli 2008

OPTIMALKAN IKHTIAR

Penulis: KH. Abdullah Gymnastiar

Bismillahirrahmaanirrahiim,ManajemenQolbu.Com : Ketika harga diri telah dijadikan salah satu kata kunci utama hidup sebagai Muslim di tengah-tengah pergaulan manusia yang nikmat dalam kelalaian karena diperkuda hawa nafsu ini, maka mudah-mudahan saja Allah mentakdirkan kita menjadi bukti kemuliaan Islam. Siapapun yang dianugerahi karunia ini, niscaya tidak akan lagi mencemaskan kehidupan dunia. Betapa tidak! pertolongan-Nya yang sangat mengesankan akan senantiasa tercurah kepada kita, diminta ataupun tidak, insya Allah.Misalnya, kita ingin membangun mesjid atau lembaga dakwah. Sekiranya kita tidak yakin bahwa Allah Azza Wa Jalla akan siap menolong siapapun yang ingin mendirikan rumah-Nya dan menolong menegakan agama-Nya, niscaya akan dengan mudah, bahkan mungkin penuh kesadaran untuk menukar harga diri kita dengan kepingan-kepingan uang logam yang mungkin nilainya lebih kecil daripada yang diberikan kepada pengemis atau penjaga WC umum.
Kita akan rela mencampakan rasa malu kita dan rela tubuh ini terpanggang terik sinar matahari untuk berjalan berkilo-kilo meter dari pintu ke pintu, berdiri di pinggir jalan raya sambil mengacung-acungkan kotak kencleng, atau mengetuk-ngetuk kaca pintu mobil di perempatan jalan. Padahal, bukankah "Al-Yad al-'ulya khairun min yad ash-shufla (Tangan di atas itu, jauh lebih baik dari pada tangan yang menengadah di bawah)?"
Mengapa bisa terjadi demikian? Sesungguhnya, keadaan semacam itu sangat dimaklumi. Umat Islam saat ini memang baru terjaga dari tidurnya yang lelap. Dan ketika terjaga, ternyata orang lain sudah banyak berbuat, sudah melangkah begitu jauh dan sudah berbekal sejumlah potensi untuk bersaing. Akibatnya, bisa kita lihat ke dalam diri kita sendiri. Secara syariat lahiriyah, kita memang masih memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal potensi sumber daya manusia, dana, kesempatan, maupun strategi untuk bersaing.
Mengingat hal itu, apakah lantas kita hanya akan mengandalkan kemampuan diri yang nota bene pas-pasan, apa yang bisa kita dapat? Oleh sebab itu, kalau ada yang harus dikuatirkan dalam berjuang membangun mesjid, lembaga dakwah, atau kegiatan apapun demi syiar Islam, hanya satu hal saja, yakni kita tidak lagi ditolong Allah, sekaligus juga membuat kita tergelincir kehilangan harga diri. Kalaupun kita memilih berjuang sekuat-kuatnya untuk menjaga kemuliaan diri, tak ingin meminta-minta sumbangan, sementara jalan wirausahapun belum membuahkan hasil yang berarti, lalu siapa yang harus kita andalkan?
Hendaknya cita-cita kita dalam hidup ini haruslah menjadi orang yang selalu rindu akan pertolongan Allah. Biarlah Dia yang mengatur segalanya bagi kita. Biarlah kita menjadi bagian dari rencana dan strategi-Nya. Karena dengan begitu kita akan menjadi orang yang bisa meraih sukses dalam bidang apapun yang dapat mendatangkan kemaslahatan, sekaligus derajat kemuliaan kitapun tetap terpelihara dan bahkan terentaskan. Mau berdakwah, melanjutkan sekolah, menempuh ujian, mencari pekerjaan, berwirausaha, atau melakukan apapun, kalau hanya mengandalkan otak dan kemampuan belaka, sungguh amat terbatas. Kita tidak bisa melacak apa yang akan terjadi besok atau lusa. Kita tidak tahu persaingan seberat apa yang akan dihadapi. Kita tidak tahu penipu mana yang akan mengganjal dan menghadang kita. Akan tetapi, kalau Allah berkehendak menolong kita, maka Dia Mahatahu segala-galanya. Sekali-kali tidak akan terhalang karunia dan pertolongan-Nya walaupun bergabung seluruh jin dan manusia untuk menghalanginya.
Jadi, yang harus kita lakukan sekarang juga adalah mencari pertolongan Allah, dengan cara berjuang sekuat-kuatnya agar kita menjadi orang yang layak ditolong oleh-Nya. Akan tetapi, bukankah untuk sampai ke arah itu amat berat? Nah, di sinilah justru letak kesalahannya, menganggap berat perjuangan yang justru belum kita mulai. Padahal Allah sama sekali tidak mempersulit kita. Kita saja yang suka menghalangi datangnya pertolongan Allah itu. Karenanya, agar kita menjadi orang yang tidak menghalangi pertolongan-Nya, rahasianya adalah memulai dengan membersihkan dan meluruskan niat. Untuk apa kita melakukan suatu usaha? Untuk kepentingan sendiri, bolehkah? Untuk ma'isyah rumah tangga, bolehkah? Kedua-duanya boleh saja. Hanya saja, kalau demi motivasi semacam itu, siapapun dapat melakukannya, bahkan termasuk orang yang tidak beriman sekalipun. Padahal kita harus mendapatkan nilai lebih dari sekedar untuk mencukupi diri atau keluarga.
Ketika ingin berwirausaha, niatkanlah karena ingin memiliki harga diri, agar tidak menjadi beban orang lain. Yang kedua, mudah-mudahan usaha kita menjadi dakwah. Yang ketiga, mudah-mudahan banyak teman kita yang bergabung, sehingga mereka mendapatkan rezeki yang jelas kehalalannya. Dan yang keempat, mudah-mudahan jerih payah kita menbuahkan rezeki yang berlimpah ruah, sehingga bisa menolong orang yang memang membutuhkan pertolongan. Hendaknya, seperti inilah niat kita. Tidak lagi hanya untuk kepentingan diri dan keluarga, tetapi menjadi melebar untuk kepentingan umat. Inilah awal yang baik.Kalau niat dan motivasi kita hanya sekedar untuk memperkaya diri, jangan-jangan malah kita tidak pernah menjadi kaya. Lain lagi kalau diniatkan untuk memperkaya umat dan menolong agama Allah, maka Allah lah yang akan menjamin kekayaan kita. Bukankah Dia telah tegas-tegas berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu" (QS. Muhammad [47]:7). Haruslah segala apa yang kita cita-citakan bersifat menolong agama Allah, barulah akan datang pertolongan-Nya.


Lalu, siasat seperti apa yang dapat kita lakukan agar menjadi bagian dari orang yang layak ditolong oleh-Nya? Langkah awal yang harus kita lakukan adalah berusaha terus menerus untuk meningkatkan pengenalan kita kepada Allah dalam segala aspek kehidupan untuk mendekatkan diri kepada-Nya semata. Ujung dari semua itu adalah terbangunnya ketaqwaan dan ketawakalan. Tidak takut kecuali hanya pada-Nya, karena Dialah satu-satunya tempat bergantung segala makhluk. Manusia hanya diwajibkan berikhtiar, sedang tercapai atau tidaknya ikhtiar tersebut, semuanya bergantung pada izin Allah, laa haula walaa quwwata illa billah.Sekiranya kita sudah memiliki kesanggupan seperti itu, maka apa lagi yang harus dicemaskan di dunia ini? Jaminan dan janji Allah itu pasti. Mustahil Dia mengingkarinya. "Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari jalan yang tiada terduga. Barang siapa yang bertawakal kepada Allah. niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu" (QS. Ath-Thalaq [65]:2-3)
Selamat berbahagia bagi siapapun yang dipilih oleh Allah untuk menjadi pejuang agama-Nya. Dan selamat merugi bagi siapapun yang dijauhkan dari jalan menuju jaminan pertolongan-Nya.***(Dimuat Di Tabloid MQ)

Menjadi Pribadi Sukses

Oleh : Mas Amri Knowledge Entrepreneur
ManajemenQolbu.Com : (Dari Bedah Buku Dr Akrim Ridha)

Semua cahaya menyinari tujuanmu ;
Intinya adalah buat perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang dan semuanya harus bisa terukur.

Cita-citamu mesti realistis ;
Berbicara realistis maupun tidak realistis sebuah cita-cita sifatnya adalah relatif, sebab itu tergantung kepada kita, maka Rasullulah bersabda bahwa setiap perkataan itu ada hakekat, lalu Rasulullah menanyakan kepada harist apa bukti dan hakekat keimananmu itu ?

Kelelahan utama, mendapatkan teladan ;
Kita dianjurkan untuk mencari figure tidak hanya satu , sebab harus disesuaikan pada sector mana kita akan menggunakannya.Catatan, khusus untuk Rasulullah SAW beda lagi.

Jangan kehilangan sumber potensi ;
Maksudnya , banyak diantara kita yang lebih pinter mengetahui kekurangan diri daripada kelebihan diri. Jadilah dirimu sendiri, seperti kue DONAT, kelebihannya adalah lubangnya.

Inovasi dan rasional atau hanya mimpi-mimpi ;
Kehidupan selalu berubah, walaupun banyak orang yang masih bangga dengan teknik-teknik masa lalu yang sudah usang.

Anda mesti menggunakan kunci-kunci manajerial ;
Intinya adalah kita harus punya perencanaan yang bagus, ada peringatan dari Ali r.a bahwa sesuatu yang baik, tidak diorganisasi dengan baik akan terkalahkan dengan sesuatu yang tidak baik namun terorganisasi dengan baik.

Menuju karir profesional ;
Intinya belajr dan belajar agar kita termasuk dalam surat 58 ; 11 yang isinya : " Allah mengangkat derajat orang – orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat".

Perahu kesabaran ;
Intinya seperti dalam surat Ali Imron ayat 200 yaitu " Dan bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah supaya kamu beruntung ". Ibnu Qayyim berkomentar bahwa ada orang yang sabar tapi tidak istiqomah , ada yang istiqomah namun tidak sabar, ada yang sabar dan istiqomah namun tidak bertaqwa.Padahal bertaqwa itulah yang menjadikan seseorang beruntung.

Denyut hati ;
Intinya adalah perlunya kegigihan, kegigihan, kegigihan dan pokoknya kegigihan.

Jadilah hidupmu menyenangkan ;
Kombinasikan hidup anda, nikmati hidup anda, dan lupakan juga hapus hal-hal yang tidak perlu dalam kehidupan kita.(mikha)[mq]***

Antara Mata dan Hati

eramuslim - Mata adalah penuntun, dan hati adalah pendorong dan penuntut. Mata memiliki kenikmatan pandangan dan hati memiliki kenikmatan pencapaian. Keduanya merupakan sekutu yang mesra dalam setiap tindakan dan amal perbuatan manusia, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain.Ketika seseorang memiliki niat untuk melakukan sesuatu yang muncul dari dalam hati, maka dia memerlukan mata sebagai penuntunnya. Untuk melihat, mengamati, dan kemudian otak ikut bekerja untuk mengambil keputusan.
Bila seseorang memiliki niat untuk melakukan amal yang baik, maka mata menuntunnya kearah yang baik pula. Dan bila seseorang berniat melakukan suatu perbuatan yang tidak baik, maka mata akan menuntunnya kearah yang tidak baik pula.
Sebaliknya bisa pula terjadi, ketika mata melihat sesuatu yang menarik, lalu melahirkan niatan untuk memperoleh kenikmatan dari hal yang dilihatnya, maka hati akan mendorong mata untuk menjelajah lebih jauh lagi, agar dia memperoleh kepuasan dalam memandangnya. Sehingga Allah SWT memberikan kepada kita semua rambu-rambu yang sangat antisipatif, yaitu perintah untuk menundukkan pandangan: "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS. An Nuur: 30-31)
Demikianlah hal yang terjadi, sehingga ketika manusia terpuruk dalam kesesatan, maka terjadilah dialog antara mata dan hati, seperti yang dituturkan oleh seorang ulama besar Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dalam bukunya "Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu".

Hati berkata kepada Mata
Kaulah yang telah menyeretku kepada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saat saja. Kau lemparkan kerlingan matamu ke taman itu, kau mencari kesembuhan dari kebun yang tidak sehat, kau salahi firman Allah, "Hendaklah mereka menahan pandangannya", kau salahi sabda Rasulullah Saw, "Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah Azza wa Jalla, maka Allah akan memberi balasan iman kepadanya, yang akan didapati kelezatannya di dalam hatinya". (H.R. Ahmad)

Sanggahan Mata terhadap Hati
Kau zhalimi aku sejak awal hingga akhir. Kau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan penuntun yang menunjukkan jalan kepadamu. Engkau adalah raja yang ditaati. Sedangkan kami hanyalah rakyat dan pengikut. Untuk memenuhi kebutuhanmu, kau naikkan aku ke atas kuda yang binal, disertai ancaman dan peringatan. Jika kau suruh aku untuk menutup pintuku dan menjulurkan hijabku, dengan senang hati akan kuturuti perintah itu. Jika engkau memaksakan diri untuk menggembala di kebun yang dipagari dan engkau mengirimku untuk berburu di tempat yang dipasangi jebakan, tentu engkau akan menjadi tawanan yang sebelumnya engkau adalah seorang pemimpin, engkau menjadi buidak yang sebelumnya engkau adalah tuan. Yang demikian itu karena pemimpin manusia dan hakim yang paling adil, Rasulullah Saw, telah membuat keputusan bagiku atas dirimu, dengan bersabda: "Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula, dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati." (H.R. Bukhori Muslim dan lainnya).
Abu Hurairah Ra. Berkata, "Hati adalah raja dan seluruh anggota tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik, maka baik pula pasukannya. Jika raja buruk, buruk pula pasukannya". Jika engkau dianugerahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya para pengikutmu adalah karena kerusakan dirimu, dan kebaikan mereka adalah karena kebaikanmu. Jika engkau rusak, rusak pula para pengikutmu. Lalu engkau lemparkan kesalahanmu kepada mata yang tak berdaya. Sumber bencana yang menimpamu adalah karena engkau tidak memiliki cinta kepada Allah, tidak menyukai dzikir kepada-Nya, tidak menyukai firman, ‘asma dan sifat-sifat-Nya. Engkau beralih kepada yang lain dan berpaling dari-Nya. Engkau berganti mencintai selain-Nya.
Demikianlah, mata dan hati, sepasang sekutu yang sangat serasi. Bila mata digunakan dengan baik, dan hati dikendalikan dengan keimanan kepada Allah SWT, maka kerusakan dan kemungkaran dimuka bumi ini tak akan terjadi. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka kerusakan dan bala bencanalah yang senantiasa menyapa kita.
Robb, bimbinglah kami, agar kami mampu mengendalikan hati kami dengan keimanan kepada-Mu, mengutamakan cinta kepada-Mu, dan tidak pernah berpaling dari-Mu.
Allaahumma ‘aafinii fii badanii, Allaahumma ‘aafiniifii sam’ii, Allaahumma ‘aafinii fii bashorii. Aamiin.
Ya Allah, sehatkanlah badanku, sehatkanlah pendengaranku, sehatkanlah penglihatanku. (Ummu Shofi/ari_aji_astuti@yahoo.com).

Resep Optimis

Berikut ini sebuah renungan: optimis itu memang perlu. Semoga bermanfaat. Hidup adalah pencarian kebaikan, karena "Tuhan adalah sumber kebaikan yang tersembunyi".Diri kita ini tak pernah berguna jika tidak senantiasa mencari.Mencari adalah mengupayakan; mencari adalah memikirkan; mencari adalahkemaslahatan; kemaslahatan adalah gerak: gerak adalah langkah yang positif. Sebaliknya adalah kevakuman dan diam. Karena vakum dan diam itu berarti netral dan tenggelam, berarti awal dari segala kemafsadahan.Tidak ada gerak tanpa semangat, yaitu ide dan pemikiran. Semangat juga berarti ketulusan; dan tiada ketulusan tanpa akal fikiran. Makanya tindakan orang gila itu netral (tidak bisa dihakimi), dan tindakan orang waras adakalanya baik, adakalanya buruk. Bisa baik karena menggunakan akalnya, dan buruk karena melampiaskan hawa nafsunya.Yang pertama: akal fikiran -->ketulusan = ide dan pemikiran = semangat --> gerak, menuju ke kebaikan dan kemaslahatan.Kebalikan dari itu: hawa nafsu --> kedengkian --> kepongahan --> kemafsadahan.Orang diam itu tidak berdasar, makanya tenggelam, gara-garamenganggurkan akalnya. Statusnya hampir kayak orang gila. (Lain dengan orang istirahat, karena istirahat, selama itu sesuai kebutuhan, adalah bagian dari gerak). Patah semangat dan putus asa, lebih parah lagi, adalah minus dan merupakan awal dari segala kemafsadahan.Orang yg semangat tentu dia bahagia dan tentram. Semangat dan gerakadalah bukti dari adanya kebahagiaan dan ketentraman. Makanya Allah selalu mengaitkan "pahala" --sebagai konsekuensi gerak-- (lahum ajruhum 'inda rabbihim) dengan kemantapan-keberanian- ketidakkhawatiran (wa laa khaufun 'alaihim) dan kebahagiaan/ketentraman/ketidaksedihan (wa laa hum yahzanuun) dalam ayat al-Baqarah : 277.Sebaliknya, putus asa adalah akibat dari kesedihan, dan kesedihanmempunyai kaitan erat dengan kebodohan sebagaimana kebahagiaan dan ketentraman berjalinan dengan kecerdasan dan intelektualitas.Itu semua adalah prinsip dasar manusia hidup. Adapun hasil, besarkecilnya, itu tergantung proses kesungguhan dan keteledorannya. "Danorang-orang yang bersungguh-sungguh mendekatiKU, pasti Aku tunjukkan jalannya" (wall-ladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulana). (al-Ankabut: 69)Prinsip seperti itu menunjukkan kedirian manusia. Kedirian adalah totalitas ide dan pemikiran dari dalam diri sendiri. Kedirian itu tidak identik dengan ketidakperdulian, kecuekkan, dan acuh tak acuh. Karena kecuekan, acuh tak acuh, dan sebangsanya itu sebanding dengan kebodohan, hampir setengah dari kesombongan. Kedirian adalah penyerapan dan filterisasi informasi sehingga menyusun sebuah keutuhan ide dan pemikiran. Walaupun ada beberapa tiruan/takliid tapi seakan-akan keluar dari diri sendiri, karena telah difilter (dg akal, tentunya).Pemikiran dan ide di sini berarti kemantapan (akan sebuah kebenaran).Di sinilah relevansinya sabda Rasul "fa idzaa 'azamta fatawakkal 'alaa Allah" (jika kamu sudah mantap, bertawakkallah pada Allah) (Ali Imran: 159). Kemantapan di sini sebanding dengan kepengetahuan, keberanian, dan ketegasan.Ringkasnya, gerak-kemantapan-kebahagian itu harus saling terkait.Kalau sudah bisa mengkaitkan ketiganya, baru boleh bertawakkal.

കബലത് Mencintai



eramuslim - Cinta mungkin sebuah kata agung yang paling sering membuat seseorang tergugu di hadapannya. Segala teori dan argumentasi yang dilontarkan akan lumpuh begitu saja saat kita sendiri yang mengalami bagaimana hebatnya cinta itu mempengaruhi diri kita. Mungkin sulit dipahami bagi orang yang sedang tak mencinta, bagaimana rasa cinta itu menjelma menjadi ratusan ribu pulsa telepon, berlimpahnya waktu untuk menunggu yang terkasih walau kita sedang dalam deadline ketat, terbuka lebarnya mata mengerjakan tugas-tugas demi membantu yang tersayang. Bongkahan pengorbanan yang tak rela dipecahkan…
Merasakan cinta seperti merasakan hangatnya matahari. Kita selalu merasa kehangatan itu akan terus menyirami diri. Setiap pagi menanti mentari, tak pernah terpikirkan akan turun hujan atau badai karena kita percaya semua itu pasti akan berlalu dan mentari akan kembali, menghangati ujung kaki dan tangan yang sedikit membeku. Mentari ada di sana, dan dia pasti setia.
Terkadang kita lupa, matahari yang hidup dan mengisi hidup itu adalah hamba dari Penguasa kehidupan, kehidupan kita, kehidupan matahari. Satu waktu matahari harus pergi, walau ia tak pernah meminta, walau pinta tak pernah kita ucapkan. Jadi, ia akan pergi, apapun yang terjadi. Karena ini adalah kehendak-Nya. Segala yang ada di dunia ini tidak pernah abadi, karenanya ia bisa pergi. Selamanya, bukan sementara. Inilah dunia. Senang atau tidak, kita hanya bisa terima. Mungkin kita ingin protes, ingin teriak; betapa tak adilnya! Tapi kita cuma akan dijawab oleh tebing karang yang bisu, atau lolongan anjing dari kejauhan yang terdengar mengejek. Mungkin kita kecewa dan ingin mengakhiri hidup. Mungkin kita begitu ingin memukul, tapi cuma angin yang bisa dikenai. Sekarang coba dulu lihat, apakah itu mengubah apa pun? Tak ada yang berubah kecuali semakin dalamnya rasa sakit itu.
Maka ketika kuasa-Nya yang mutlak menjambak cinta sementara kita pada matahari, kita bisa apa? Karena kita cuma hamba, kita cuma budak! Kita hanya bisa menelan kepahitan yang kita ciptakan sendiri.
Mungkin yang perlu kita jawab; mengapa kita melabuhkan cinta begitu besarnya pada manusia? Padahal kita tahu tak ada yang abadi di dunia ini. Mengapa?
Allah menciptakan cinta di antara manusia. Dia yang paling hebat, paling tahu bagaimana cinta itu, bagaimana mencintai, bagaimana dicintai. Kenapa kita begitu sok, merasa paling mencintai, merasa paling dicintai, merasa memiliki segalanya dengan cinta. Padahal cinta itu cuma dari manusia, untuk manusia. Dan suatu hari cinta itu akan hilang. Mungkin tak cuma pupus, tapi tak berbekas, tak berjejak. Hanya cinta yang begitukah yang kita inginkan?
Kenapa kita tak mencoba raih matahari cintanya Allah, yang tak pernah tenggelam dan tak pernah sirna. Tak pernah usang, tak hancur, dan tak akan pernah sia-sia. Mencintai Allah? Terlalu abstrak, terlalu aneh. Masa’? Itu karena kita tak pernah merasa dekat, tak pernah berusaha mendekati-Nya. Allah menjadi asing karena kita memposisikan Allah sebagai sesuatu yang berada di langit yang tinggi dan tak mungkinlah kita mencapainya. Jangankan mencintai, membayangkan untuk mendekatinya saja tak mungkin.
Tahukah kamu, Dia menawarkan cinta-Nya untuk kita. Hebat ‘kan? Kita? Manusia yang hina dina yang berasal dari setetes sperma yang hina? Ditawarkan cinta dari pembuat cinta? Cck… ckk… Apa nggak salah, nih? Kemudian kita malah menolak dan menjauh? Wah… wah… betapa bodohnya ...
Kalau cinta seperti itu tertolak, cinta apa lagi yang kita harapkan? Cinta yang membawa pada kekecewaan, rasa sakit, atau derita? Cinta yang hanya mekar semusim lalu luruh tak berbekas, bahkan wanginya. Percayalah… cinta yang ditawarkan-Nya tak pernah menguncup, mekar, atau luruh. cinta-Nya abadi, mekar selamanya. Dan Dia akan memberi kita cinta dari manusia. Mentari itu terus di sana, kapan dan di manapun kita ingin merasakan hangatnya. Kita punya cinta dari Allah.
Apakah kita tak berniat membalas ketulusan cinta itu?
al Birru
emine_mm@maktoob.com

Mencari Hakekat kebahagiaan

Manusia dilengkapi oleh Allah dua hal pokok, yaitu jasmani dan rohani. Dua
hal ini memiliki keperluan masing-masing. Jasmani membutuhkan makan,
minum, pelampiasan syahwat, keindahan, pakaian, perhiasan-perhiasan dan
kemasyhuran. Rohani, pada sisi lain, membutuhkan kedamaian, ketenteraman,
kasih-sayang dan cinta. Para sufi menegaskan bahwa hakekat sesungguhnya
manusia adalah rohaninya. Ia adalah muara segala kebajikan. Kebahagiaan
badani sangat tergantung pada kebahagiaan rohani. Sedang, kebahagiaan
rohani tidak terikat pada wujud luar jasmani manusia.

Sebagai inti hidup, rohani harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi.
Semakin tinggi rohani diletakkan, kedudukan manusia akan semakin agung.
Jika rohani berada pada tempat rendah, hina pulalah hidup manusia. Fitrah
rohani adalah kemuliaan, jasmani pada kerendahan. Badan yang tidak memiliki
rohani tinggi, akan selalu menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rendah hewani.
Rohani hendaknya dibebaskan dari ikatan keinginan hewani, yaitu kecintaan
pada pemenuhan syahwat dan keduniaan. Hati manusia yang terpenuhi dengan
cinta pada dunia, akan melahirkan kegelisahan dan kebimbangan yang tak
berujung. Hati adalah cerminan ruh. Kebutuhan ruh akan cinta bukan untuk
dipenuhi dengan kesibukan pada dunia. Ia harus bersih. Dalam rangkaian
metode pembersihan hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap :
Takhalli,Tahalli, dan Tajalli.

Takhalli, sebagai tahap pertama dalam mengurus hati, adalah membersihkan
hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai langkah pertama, harus
dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak,
istri, harta dan segala keinginan duniawi. Dunia dan isinya, oleh para
sufi, dipandang rendah. Ia bukan hakekat tujuan manusia. Manakala kita
meninggalkan dunia ini, harta akan sirna dan lenyap. Hati yang sibuk pada
dunia, saat ditinggalkannya, akan dihinggapi kesedihan, kekecewaan,
kepedihan dan penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk
kesedihan, lanjut para saleh sufi, seorang manusia harus terlebih dulu
melepaskan hatinya dari kecintaan pada dunia.

Tahalli, sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang
telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah (swt). Pada tahap ini,
hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan
mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tak ada
yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia,
bagi hati yang telah tahalli, tak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya
untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli, lantaran
kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya,
anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir.
Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tak henti-hentinya didengungkan
setiap saat. Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat.Begitu pula, mata, kaki, dan anggota tubuh yang lain. Pada tahap ini, hati
akan merasai ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia yang menipu.
Kesedihannya bukan pada anak dan istri yang tak akan menyertai kita saat
maut menjemput. Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali
memperosokkan pada kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya sedih
jika tidak mengingat Allah dalam setiap detik.

Setelah tahap 'pengosongan' dan 'pengisian', sebagai tahap ketiga adalah
Tajalli. Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap
dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah subhanahu wata'ala. Ia lebur bersama
Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam
keridho'an-Nya. Pada tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai ma'rifah, orang yang
sempurna sebagai manusia luhur. Syekh Abdul Qadir Jaelani menyebutnya
sebagai insan kamil, manusia sempurna. Ia bukan lagi hewan, tapi seorang
malaikat yang berbadan manusia. Rohaninya telah mencapai ketinggian
kebahagiaan. Tradisi sufi menyebut orang yang telah masuk pada tahap
ketiga ini sebagai waliyullah, kekasih Allah.

Orang-orang yang telah memasuki tahapan Tajalli ini, ia telah mencapai
derajat tertinggi kerohanian manusia. Derajat ini pernah dilalui oleh
Hasan Basri, Imam Junaidi al-Baghdadi, Sirri Singkiti, Imam Ghazali, Rabiah
al-Adawiyyah, Ma'ruf al-Karkhi, Imam Qusyairi, Ibrahim Ad-ham, Abu Nasr
Sarraj, Abu Bakar Kalabadhi, Abu Talib Makki, Sayyid Ali Hujweri, Syekh
Abdul Qadir Jaelani, dan lain sebagainya. Tahap inilah hakekat hidup dapat
ditemui, yaitu kebahagiaan sejati.
Wallahu a'lam

Rizqon Khamami.
www.PesantrenVirtual.com ]
Hak cipta © 1999-2003 PesantrenVirtual.com.
Informasi: info@pesantrenvirtual.com