Sabtu, 05 Juli 2008

Refleksi 50 Tahun Hubungan Ekonomi Indonesia-Jepang dalam Sektor Perikanan

1. Pendahuluan
Ketertarikan Jepang akan sumberdaya ikan Indonesia dan Asia Tenggara umumnya bukanlah hal baru, tetapi memiliki faktor kesejarahan yang panjang. Sebelum pendudukkan Jepang di tanah air, laut nusantara dan perairan lainnya di wilayah ini telah menjadi “ladang” ikan bagi nelayan Jepang. Eksploitasi sumberdaya ikan secara berlebihan di dalam negerinya mendorong para nelayan melakukan ekspansi keluar negeri, seperti yang dilakukan oleh para nelayan Okinawa setelah Perang Dunia I ke Asia Tenggara [1]. Bahkan, selama perang pasifik (Perang Dunia II) Jepang sekurang-kurang menanamkan modalnya untuk perikanan sekitar 45,8 juta atau 3.7% dari total investasi Jepang di Indonesia [2]. Dengan produktivitas perikanan lebih dari 25 kali lipat nelayan lokal  seperti dilaporkan Hiroshi Shimizu [1], nelayan-nelayan pendatang ini tidak hanya mampu memperbaiki ekonominya di daerah yang baru tersebut tetapi juga bagi daerah asal yang mereka tinggalkan.
Tentu saja ekspansi model di atas akan sangat sulit ditemukan saat ini karena dua alasan:
1. Sejak lahirnya UNCLOS di tahun 1982 banyak negara pantai membatasi pergerakan industri perikanan asing di wilayahnya yang tentu saja berimbas besar pada aktivitas perikanan Jepang.
2. Industri perikanan Jepang saat ini juga menghadapi masalah domestik dengan menurunnya peminat pada usaha ini serta menumpuknya kelompok nelayan usia tua dalam industrinya (hampir separuh nelayan Jepang berusia di atas 60 tahun).
Kondisi seperti ini tentu saja menuntut pemerintah dan/atau pengusaha perikanan Jepang untuk mencari berbagai jalan keluar untuk dapat mencukupi kebutuhan hasil perikanan dalam negerinya yang bisa dikatakan sangat besar (per kapita suplai ikan Jepang mencapai lebih dari 60 kg/kapita/tahun, sedangkan rata-rata suplai ikan dunia hanya sekitar 16.7 kg/kapita/tahun). Kerjasama pengembangan sektor perikanan ataupun penanaman modal di negara-negara yang memiliki potensi sumberdaya ikan yang besar seperti Indonesia menjadi pilihan utama. Tulisan ini sekilas memaparkan dinamika hubungan ekonomi Indonesia-Jepang dalam sektor perikanan selama lima dekade terakhir, serta prospek dan tantangan ke depan.
2. Perjanjian Damai dan Ekspansi Industri Perikanan
Tanggal 20 Januari 1958 atau setengah abad yang lalu merupakan momentum terpenting dalam perbaikan hubungan Indonesia-Jepang pasca penjajahan. Proses menuju ini bukanlah proses yang mudah, apalagi tuntutan ganti rugi karena berbagai kerusakan yang ditinggalkan Jepang terbilang sangat besar. Menurut catatan Hindley [3] gugatan awal mencapai $17.300 juta. Sehingga momentum 50 tahun yang lalu sekurang-kurangnya menghasilkan tiga peristiwa penting bagi kedua negara:
1. Penandatanganan perjanjian damai atau Treaty of Peace seperti tertuang dalam United Nation Treaty Series No. 4688, yang dikuti dengan
2. Kesepakatan tentang kompensasi perang (Reparations Agreement) yang bernilai sekitar US$ 223 juta (UN Treaty Series No. 4689), dan
3. Pertukaran nota kesepakatan tentang hutang dan investasi(UN Treaty Series No. 4691).
Terkait dengan kompensasi perang tersurat bahwa kompensasi diberikan dalam bentuk produk dan jasa selama 12 tahun atau dengan nilai sekitar US$ 20 juta per tahun. Kompensasi ini meliputi seluruh sektor termasuk transportasi dan komunikasi, pertambangan, pertanian dan perikanan, serta jasa dan sektor lainnya. Dalam sektor perikanan diketahui proyek pengembangan kapal ikan menjadi salah satu bentuk proyek kompensasi.
Momentum 1950an dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh Perdana Menteri Yoshida Shigeru dalam promosi kerjasama Jepang-Amerika Serikat dalam pembangunan Asia Tenggara serta dua kunjungan perdana menteri Kishi Nobusuke di tahun 1957, menjadi peristiwa penting bagi upaya Jepang untuk kembali ke wilayah ini. Dengan disepakatinya kompensasi perang dalam bentuk jasa dan kemudian barang menjadi jalan licin dan landasan kuat bagi masuknya kembali barang dan perusahaan Jepang yang sebelumnya sulit melakukan penetrasi ke wilayah ini [4]. Kepentingan Jepang (yang tentu saja menjadi kepentingan Amerika Serikat) selain di bidang ekonomi, adalah memenangkan pertarungan politik di wilayah ini khususnya dalam menangkal perkembangan komunisme. Dengan demikian, proyek reparasi tersebut tidak hanya bermakna investasi ekonomi tetapi juga politik atau dalam bahasa kiasan Asahi Shimbun seperti dikutip Suehiro [4] “With reparations, we can kill two birds with one stone”
Selama Orde Lama, bantuan dan investasi Jepang tidak terlalu besar, dibandingkan dengan beberapa negara lain khususnya Rusia dan eropa timur. Namun demikian, Jepang mendapat tempat terbaik sejak awal kepemimpinan Orde Baru di tahun 1966. Bahkan, untuk menarik minat investasi Jepang, tidak hanya dilakukan melalui jalur formal, tetapi juga lobi-lobi informal [5]. Sebagai hasilnya, aliran dana ODA (Official Development Assistance) dan investasi Jepang mengalir ke tanah air dan terus menguat, bahkan kemudian menjadi cukup dominan dalam perekonomian Orde Baru. Jepang sampai sekarang masih berada di kelompok teratas negara-negara yang menginvestasikan modalnya di Indonesia dan juga menjadi parter dagang utama Indonesia.
Pertambangan dan migas, kehutanan, dan perikanan merupakan beberapa sektor yang dikembangkan dalam kerangka kerjasama pemanfaatan sumberdaya alam. Khusus untuk perikanan, di awal rejim Orde Baru total investasi asing dalam sektor ini mencapai angka US$ 11,5 juta dari total komitmen investasi sekitar US$ 324 juta di bulan Oktober 1968 [6]. Jepang merupakan investor terbesar perikanan tersebut dengan dua komoditi utama sebagai sasaran yaitu udang dan tuna. Pada tahun 1968 investasi Jepang dipusatkan pada industri penangkapan udang dan ikan khususnya di wilayah Sumatra dan Kalimantan. Perusahaan-perusahan Jepang ini tentu saja mampu mengeksploitasi sumberdaya ikan dengan hasil lebih baik, khususnya untuk komoditi udang yang menjadi komoditi ekspor utama, karena kemampuan teknologi yang dimilikinya. Sebagai hasilnya, ekspor ikan Indonesia meningkat fantastis dengan nilai hanya dari US$ 229 ribu pada tahun 1962, menjadi US$ 17,5 juta pada tahun 1971 (84% diantara ekspor ke Jepang), dan US$ 211,1 juta tahun 1980 dengan pangsa ekspor Jepang mencapai 77.6% dari total nilai [7].
Tuna adalah komoditi kedua setelah udang yang menjadi andalan Indonesia dan menjadi salah satu sumberdaya yang diminati Jepang. Berdasarkan data online yang dilaporkan oleh JBIC [8] diketahui sejak tahun 1972 dana ODA sekitar 19.116 juta pada sub-sektor perikanan secara umum dialokasikan untuk pengembangan industri perikanan tuna seperti melalui Tuna Fishery Development Project di Sabang dan Benoa pada era 1970an, kemudian Enginering Services and Jakarta Fishing Port Development di pertengahan 1980an, 1990an dan 2004, dan Enginering Services for Bitung Fishing Port Development Project di pertengahan tahun 1990an. Karena itu, dari total ekspor tuna Indonesia selama tiga dekade terakhir, lebih dari 70% ditujukan untuk pasar Jepang khususnya untuk komoditas tuna segar dan tuna yang melalui proses pendinginan.
Dari sisi ekonomi, periode antara 1970an sampai menjelang pertengahan 1990an dapat dikatakan periode emas hubungan ekonomi Indonesia-Jepang dalam bidang perikanan. Ekspor perikanan Indonesia terutama udang mencapai puncaknya dalam periode ini. Berkembang pesatnya budidaya udang windu yang juga disokong oleh dana hutang luar negeri di awal tahun 1980an menjadikan Indonesia sebagai eksportir utama untuk udang, paling tidak sampai pertengahan 1990an. Sayangnya, berbagai kegagalan budidaya udang karena imbas praktek budidaya yang tidak sehat seperti penyakit dan penurunan kualitas serta kerusakan lingkungan membuat tampilan industri udang nasional terpuruk. Posisi Indonesia pun kemudian ditempati oleh Thailand yang menjadi produsen dan pemasok udang dunia terbesar saat ini. Perkembangan yang tidak meyakinkan selama dekade 1990an menyebabkan posisi Indonesia juga terlewati oleh Vietnam yang kini bahkan menjadi suplier utama kebutuhan udang Jepang.
Hubungan persahabatan Indonesia-Jepang bagaimanapun tidak semuanya berjalan mulus. Walaupun tidak secara langsung terkait dengan perikanan, peristiwa Malari di tahun 1974 (Malapetaka 15 Januari 1974) yang berawal dari protes dan berakhir pada kerusuhan di tahun tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi ketidakpuasan terhadap dominasi investasi asing, terutama Jepang yang menjadi sorotan utama saat itu. Peristiwa ini bahkan menjadi arus balik kepempimpinan presiden Soeharto karena dengan peristiwa itu ia melakukan perombakkan orang-orang di sekitarnya dan membuat paket kebijakan baru yang membatasi aktivitas gerakan mahasiswa serta partai politik [9]. Berbagai konflik berdarah antara nelayan tradisional dengan nelayan trawl yang terjadi di tahun 1970an juga tidak dapat dilepaskan dari pola pembangunan yang hanya mengejar dolar dari ekspor hasil perikanan. Apakah kondisi seperti mengendorkan hubungan kedua negara? Nampaknya tidak demikian, karena untuk menjaga roda ekonomi yang bertumpu pada bantuan atau hutang dan investasi asing, pemerintah juga memiliki kepentingan melindunginya. Hal ini paling tidak terbaca pada kasus pelarangan pukat harimau (trawl). Ketika banyak konflik antar nelayan akibat kebijakan introduksi alat tangkap ikan tersebut, pemerintah terpaksa mengeluarkan paket kebijakan pelarangan trawl di perairan Indonesia (seperti tertuang dalam Keppres 39/1980 dan Kepmentan No. 545/Kpts/Um/8/1982). Namun demikian, bagi 11 perusahan joint venture di bidang perikanan antara Indonesia dan Jepang mereka diberi ijin untuk menangkap ikan khususnya di perairan di wilayah barat Papua.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa eksploitasi sumberdaya alam seperti halnya perikanan telah memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Namun demikian, dampak sosial dan lingkungan akibat pola pembangunan yang diterapkan sungguh mengkhawatirkan. Jauh hari di awal Orde Baru berkuasa, Krisnandhi [6] telah memaparkan keprihatinannya akan dampak model pembangunan perikanan terutama keberadaan investasi asing terhadap sumberdaya ikan dan usaha perikanan domestik. Akhir-akhir ini, deplesi sumberdaya ikan bahkan semakin terasa dan tengah sedang menjadi satu faktor kunci penyulut berbagai konflik perikanan di nusantara. Hutan mangrove pun misalnya, akibat konversi untuk berbagai kepentingan salah satunya untuk tambak udang telah mengakibatkan kita kehilangan hampir lebih dari separuh luasan yang tercatat sekitar 4,2 juta hektar di tahun 1980 dalam tiga dekade terakhir. Tentu saja, peran negara donor dalam krisis lingkungan seperti ini telah menjadi bahan kritik para analis [baca misalnya 10-11]. Namun demikian, kenyataan lain seperti perilaku korup yang melekat pada rejim yang ada juga telah memperburuk pengelolaan sumberdaya alam. Hal inipun sebenarnya telah disadari oleh negara donor, bahkan dalam salah satu laporan studi JBIC dikemukakan buruknya pengelolaan negara di beberapa wilayah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Karena itu, era baru dengan kesepakatan baru melalui “Japan Indonesia Partnership Aggreement” (JIEPA) perlu mempertimbang-kan faktor-faktor non-ekonomi tersebut. Kerjasama pengembangan perikanan yang lebih berkelanjutan dapat menjadi tema besar sektor perikanan ke depan. Tema ini tentu saja akan tepat dengan peran yang tengah disandang Jepang sebagai leader gerakan lingkungan hidup global saat ini.
3. Bersaing di tengah Pasar Jepang yang sedang Surut: Prospek dan Tantangan
Walaupun masih memimpin di kelompok teratas penanam investasi terbesar di Indonesia, minat investasi Jepang dalam tahun-tahun terakhir nampak sedang bergeser turun. Survey Report on Overseas Business Oportunity by Japanese Manufacturing Companies pada tahun yang lalu menempatkan Indonesia pada Ranking 8 sebagai ladang bisnis menjanjikan dalam jangka menengah, tetapi posisi ini turun drastis dari No. 3 dan 4 masing-masing pada tahun 1995 dan 2002. Pemerintah melalui JIEPA yang telah bergulir sejak awal kepemimpinan presiden SBY, tentu saja mengharapkan dapat mendongkrak minat Jepang ke tanah air lagi. Untuk sektor perikanan catatan berikut dapat menjadi beberapa acuan kondisi perikanan saat ini, serta prospek dan tantangannya ke depan:
1. Bagi industri perikanan Indonesia, pasar Jepang masih akan menjadi pasar yang utama. Hal ini misalnya bisa dilihat dari satu indikator bahwa hampir separuh ekspor udang kita masuk ke pasar Jepang dan angka yang lebih tinggi pada pasar ikan tuna segar. Namun demikian, laju impor ikan Jepang menjelang akhir dekade 1990an terus melambat, baik volume maupun nilai dibandingkan dua dekade sebelumnya. Bahkan, pertumbuhan impor ikan Jepang dalam periode 2000-2006 telah berbalik ke negatif. Pada saat bersamaan, ekspor hasil perikanannya justru merambat naik. Walaupun para ahli ekonomi perikanan dalam pertemuan Asosiasi Ekonomi Perikanan Jepang pada tanggal 1 Juni yang lalu masih bertanya-tanya apakah kecenderungan ekspor tersebut akan menjadi berita gembira atau pertanda tidak baik ditengah berbagai masalah domestik, kencenderungan seperti ni patut menjadi perhatian bagi industri perikanan nasional. Dari sisi konsumsi, adalah satu tantangan bagi Indonesia ketika konsumen Jepang perlahan-lahan beralih ke produk-produk HMR (home meal replacement; aitu produk-produk yang bergizi tetapi siap saji baik disantap, dihangatkan, atapun langsung dimasak), misalnya Indonesia masih mengandalkan diri pada ekspor produk yang belum diolah. Thailand dan Vietnam nampak mendominasi produk yang mempunyai nilai tambah seperti ini.
2. Persaingan industri perikanan, khususnya udang, ke depan yang juga pasar utamanya adalah Jepang akan lebih ketat. Komoditi perdagangan udang dunia saat ini telah bergeser dari 5-6 species menjadi 2-3, terutama dengan meluasnya budidaya udang introduksi seperti vanamei. Industri budidaya udang nasional juga sedang bergeser dari spesies lokal (udang windu) ke vanamei. Dari sisi pasar, keseragaman spesies menyebabkan persaingan terjadi hanya pada tingkat harga. Bahkan harga udang dunia saat ini telah bergeser turun dari rata-rata US$ 11,2/kg pada tahun 2000 menjadi US$ 6,5 di tahun lalu [dihitung dari data yang dilaporkan 12]. Tentu saja negara-negara yang mampu memproduksi udang dengan harga yang lebih murah akan menjadi pemain utama dan China saat ini sedang bergairah dengan mulai mendominasi pasar udang dunia. Namun demikian, isu-isu keamanan pangan dan kecurangan dalam perdagangan akan tetap menjadi faktor penentu berikutnya. Pengalaman terpentalnya produk udang China di pasar Amerika dan riaknya sampai ke tanah air tentu dapat menjadi pelajaran berharga bagi pengusaha perikanan nasional. Tentu saja, faktor sejenis juga menjadi pusat perhatian Jepang.
3. Untuk tuna, peluang pasar tetap terbuka bagi para produsen tuna. Namun demikian ada empat tantangan: (1) tekanan harga bahan bakar minyak akan membatasi kemampuan produksi tuna Indonesia. (2) Pada saat bersamaan tekanan masyarakat dunia yang menginginkan ekploitasi tuna yang lebih bertanggungjawab juga akan semakin kencang. Komunitas masyarakat perikanan international seperti CCSBT (Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna) misalnya, bahkan telah berhasil memaksa Jepang menurunkan kuotanya untuk tuna sirip biru dari selatan ini dari 6000 ton per tahun menjadi hanya separuh tahun 2006 yang lalu. Imbasnya dikhawatirkan akan mengalir pada jenis dan negeri lainnya termasuk industri tuna kita. (3) Persaingan di tingkat wilayah juga semakin ketat karena negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia sudah mengalokasikan dana untuk perikanan tuna dan bahkan berani menarik industri tuna nasional dengan subsidi BBM jika bersedia pindah ke Malaysia [13]. Thailand juga telah berancang-ancang dengan akan selesainya pembangunan pelabuhan perikanan Puket. Vietnam dengan dukungan Jepang juga merencanakan pengembangan pelabuhan perikanan tuna modern dengan nilai mencapai US$ 5 juta [14]. Kitapun tentu masih menaruh prioritas yang besar pada industri tuna seperti dapat dibaca pada dokumen Program Revitalisasi Perikanan 2005-2009. Sayangnya, (4) struktur industri perikanan tuna kita sangat lemah, bahkan sangat tergantung pada aktivitas perikanan dari negara lain. Lebih disayangkan lagi aktivitas perikanan asing ini sulit dibedakan antara yang berijin dan yang mencuri. Tidaklah mengherankan jika kita sering berkeluh kesah tentang pencurian ikan yang merugikan negara triliunan rupiah. Karena itu, dalam kerangka kerjasama kedua negara upaya mengurangi permasalahan dan aktivitas yang dikenal dengan istilah IUU (Illegal, Unregulated and Unreported) ini dapat menjadi salah satu agenda bersama. Kerjasama bilateral dan mungkin regional dapat juga dilakukan baik dengan memberi tekanan pada para penangkap dan penjual hasil ikan curian tersebut juga dari sisi teknis.
4. Bagi industri perikanan nasional, pilihan ditengah melemahnya minat pasar Jepang saat ini tentu saja salah satunya adalah diversifikasi ekspor baik komoditi ikan, produk, maupun negara tujuan. Adalah berita baik ekspor udang Indonesia sudah cukup bergeser dari pasar tunggal Jepang, ke beberapa negara akhir-akhir ini, termasuk dengan masuknya pasar China sebagai tujuan baru. Sebagai ilustrasi, lebih dari 70% ekspor udang Indonesia ditujukan ke Jepang sampai tahun 1989, dan kini turun hanya separuh. Dengan kecenderungan tersebut kebijakan revitalisasi perikanan yang saat ini hanya mengkosentrasikan diri pada tiga komoditi perikanan saja yaitu udang, tuna dan rumput laut perlu dikaji ulang.
5. Namun demikian, satu hal yang patut dan yang terpenting untuk dipertimbangan oleh Indonesia adalah isu-isu domestik seperti isu sosial ekonomi perikanan dan lingkungan. Faktor ini tentu perlu mendapat tempat yang lebih baik dalam kebijakan pembangunan perikanan saat ini dan akan datang. Apalagi belajar dari pengalaman yang lalu, karena orientasi yang terlalu fokus ke luar (export-oriented) yang ditempuh dalam pembangunan perikanan telah menghasilkan beban masalah domestik yang berat seperti kerusakan sumberdaya, lingkungan dan masalah sosial ekonomi.
4. Catatan Penutup
Walaupun telah banyak keuntungan ekonomi dalam lima puluh tahun perbaikan hubungan Indonesia-Jepang, kita juga menemukan dampak sosial dan permasalahan lingkungan hidup. Bahkan, kekhawatiran Krisnandhi [6] empat puluh tahun yang lalu juga telah banyak terbukti. Karena itu berkaca pada pengalaman yang lalu, Indonesia perlu mengkaji dengan lebih baik agar berbagai kerjasama dengan negara lain bisa memberikan hasil yang seimbang, tidak hanya sisi ekonomi. Apalagi, telah disadari bahwa eksploitasi sumberdaya ikan kita saat ini cenderung mengarah pada krisis perikanan. Eksploitasi sumberdaya secara berlebihan bahkan seperti sedang berjalan beriringan dengan kemiskinan di pesisir.
Bagi penulis, satu hal yang menarik dari para pengambil kebijakan perikanan Jepang adalah kegigihan memperjuangkan kepentingan perikanan domestik, walau dalam tekanan internasional sekalipun seperti yang bisa kita baca dalam isu subsidi perikanan, penangkapan ikan paus, tuna dan isu-isu lainnya. Komitmen seperti ini juga yang kita harapkan dari pengambil kebijakan di tanah air. Apalagi tantangan dan masalah domestik Indonesia ke depan semakin berat. Kita tentu berharap, ikan tetap menjadi pangan yang terus dapat terjangkau, ditengah harga pangan dunia dan domestik yang terus melambung.

Tidak ada komentar: